Pencabutan izin pendirian Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI)
kembali jadi polemik. Pasalnya, Bupati Bantul Suharsono telah menandatangani pencabutan IMB GPdI Emmanuel Sedayu pada Jumat, 26 Juli 2019 lalu.
Tindakan inipun mendatangkan sentimen dari berbagai kalangan.
Salah satunya adalah Direktur Riset Setara Institute Halili yang menilai keputusan
Bupati Suharsono dianggap sebagai tindakan intoleran dan diskriminasi terhadap minoritas di Yogyakarta.
Dia menilai Bupati Bantul telah melanggar hak setiap orang untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan konstitusi. Dia juga mengkritik Suharsono karena mengambil keputusan karena takut pada tekanan kelompkk tertentu.
Baca Juga:
Warga Bantul Larang Rumah Pendeta Jadi Gereja, IMB Selalu Jadi Penyebabnya!
Soal Gereja Bantul yang Ditolak, Wakil Bupatinya Angkat Bicara
Menyikapi kritikan tersebut, Bupati Suharsono pun angkat
bicara. Dia menjelaskan bahwa pencabutan ijin tidak diambil karena tekanan dan
desakan kelompok intoleran. Sebaliknya, diambil sesuai dengan hasil verifikasi yang
dilakukan tim Pemkab Bantul dan Kementerian Agama. Dia menyampaikan pendirian
gereja tersebut melanggar Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang tata cara pemberian IMB rumah ibadah.
“Jadi itu keputusan saya adalah saya cabut karena ada unsur tidak terpenuhi secara hukum,” ucap Suharsono.
Dia menjelaskan bahwa sebagai Bupati sejak awal dia memberikan
kebebasan dan kemudahan untuk mendirikan rumah ibadah kepada semua agama di
Bantul. Tapi dengan syarat semua pihak harus memenuhi syarat yang sudah ditetapkan.
“Dari awal saya mempermudah (pendirian rumah ibadah) dari
agama apapun. Saya memikirkan 100 tahun yang akan datang hingga 1000 tahun yang
akan datang biar ada ketenangan dalam ibadah masing-masing agama. Makanya saya
bikin Perbup,” terangnya.
Sementara terkait pencabutan izin tersebut, Pendeta dan jemaat
GPdI Emmanuel Sedayu terpaksa harus menumpang di Gereja Kristen Jawa (GKJ)
untuk sementara waktu. GKJ adalah gereja yang tak jauh dari lokasi GPdI tersebut.
Meskipun berbeda aliran dan tata ibadah, namun pihak GKJ tak keberatan memberikan
ijin ibadah.