Diskriminasi yang dialami warga minoritas di Bantul,
Yogyakarta seakan tak kunjung usai. Kini kabarnya seorang warga protes menolak jika rumah pendeta dijadikan sebagai gereja.
Hal ini terjadi di daerah Gunung Wulu, Dusun Bandit Lor, RT
34, Desa Agorejo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul. Ketua RT 34, Samsuri menyampaikanbahwa
warga ini keberatan karena rumah salah satu Pendeta di sana dijadikan tempat ibadah umat Kristen.
“Jadi kalau sekarang menjadi tempat ibadah, katakanlah yang
namanya gereja, sampai saat ini kami tidak tahu. Namanya warga kan terkejut,” kata Samsuri, seperti dikutip Tagar.id, Selasa (9/7).
Sementara dari penuturan sang Pendeta bernama Tigor Yunus Sitorus
(36 tahun), protes yang disampaikan warga tidaklah benar. Pasalnya pada tahun
2003 dia membeli sebidang tanah seluas 335 meter persegi di Gunung Bulu. Dia pun berencana hendak mendirikan gereja di atas tanah tersebut.
Sayangnya, rencana itu mendapat penolakan dari warga. Mereka
memintanya untuk menandatangani surat kesepakatan yang berisi, kalau tanah yang dibelinya hanya diperuntukkan sebagai rumah tinggal.
Setelah mendirikan bangunan di atasnya, warga justru merusak dan merobohkan bangunan.
“Tiba-tiba waktu kami bangun itu (bangunan gereja di tahun
2003) dirusak dan dirobohkan. Saya tidak tahu siapa yang merobohkan. Kemudian,
saya mendapat panggilan dari kelurahan untuk pertemuan mediasi dengan warga,” kata Pendeta Tigor.
Meski mendapat penolakan, Pendeta Tigor masih tetap menggunakan bangunan untuk menggelar ibadah bersama jemaat gereja. Meskipun ibadah itu digelar secara tertutup.
Baca Juga:
Sempat Ditolak Karena Beragama Katolik, Slamet Juniarto Kini Diterima di Bantul
Ini Alasan Bupati Bantul Pertahankan Camat Katolik yang Ditolak
Menyusul peraturan pemutihan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada
tahun 2016, Pendeta Tigor pun segera melakukan pemutihan. Sesuai dengan surat pengajuan,
bangunan tersebut diperuntukkan sebagai rumah ibadah Gereja Pantekosta di Indonesia
Immamuel Sedayu dengan nomor registrasi 0116/DPMPT/212/I/Januari dengan tanggal dikeluarkan 15 Januari 2019.
Setelah mengantongi IMB, dia mulai menggelar ibadah secara
terbuka bersama dengan 50 orang jemaatnya. Sama seperti gereja lainnya, mereka beribadah setiap Minggu pagi.
“Mulai dipakai untuk ibadah sekitar bulan April 2019. Jumlah jemaat
saat ini ada 50 orang dari berbagai daerah seperti Papua, Sumba, Kalimantan maupun Sumatera. Kebanyakan jemaat adalah mahasiswa,” katanya.
Sayangnya, warga setempat membantah keterangan tersebut. Mereka
menilai jika IMB yang diajukan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku termasuk meminta persetujuan dari warga yang mayoritas Muslim.
“Mayoritas warga Gunung Bulu beragama Islam. Warga merasa
terusik dengan aktivitas ibadah itu. Kita di sini melindungi anak cucu kita
agar tidak terpengaruh,” terang Hanis, seorang warga Gunung Bulu.
Sampai berita ini diturunkan, permasalahan soal IMB gereja tersebut
masih simpang siur. Dari kedua belah pihak sendiri belum didapatkan solusi yang
terbaik. Karena itu, hal ini perlu menjadi perhatian khusus pemerintah setempat
selaku pemegang otoritas dengan harapan mampu memberikan solusi terbaik.