Kisah Benih Mapel yang Takut Mati
Kalangan Sendiri

Kisah Benih Mapel yang Takut Mati

Lori Official Writer
      4471

Yohanes 12: 24

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.


Bacaan Alkitab Setahun: [kitab]Amsal5[/kitab]; [kitab]Yohan15[/kitab]; [kitab]ITawa23-24[/kitab]

Sebuah benih pohon mapel menempel erat ke pohonnya setiap kali angin musim gugur menghadangnya hari demi hari. Dia semakin cemas karena benih di sekitarnya dihempaskan dan terbawa. Selain itu, dia juga sangat takut dengan tingkah tupai-tupai di sekitarnya yang suka melompati cabang demi cabang mapel, sekali-kali menyambar dedaunannya untuk dimakan.

Menyadari ancaman di sekitarnya dia mulai meratap. “Aku akan dibunuh!” Angin sepoi-sepoi terus berputar-putar di sekitarnya. “Biarkanlah dan kau akan baik-baik saja,” ucapnya pada dirinya sendiri.

Lalu dia kembali berpikir, “Tapi kalau aku melepaskannya, aku pasti akan mati.”

“Ya,” bisiknya sambil membolak-balik cabang-cabangnya.

Pada akhirnya genggaman benih mapel gagal dan dia menyerahkan dirinya terhempas di permukaan tanah. “Tolong….” teriak dedaunan saat dia mulai terhempas ke tanah. Pohon mapel pun menjatuhkan dedaunannya dan mengubur benih yang jatuh itu. Tanah mencengkeramnya dan menariknya ke dalam dunia yang penuh kegelapan dan sepi. Burung tak lagi bernyanyi untuk dia. Angin tak lagi berhembus membelainya. Malahan hujan terus menerus mengguyur setiap ruang terbuka, mendiamkan udara. Dia tergenang dalam lumpur sampai akhirnya dia mengembang dan membengkak.

Musim dingin semakin menambah dinginnya suhu tanah. Sebagaimana semuanya membeku, bumi di sekitarnya semakin menekan tubuh bengkaknya. Pantulan cahaya menyinari tempatnya berbaring.

Saat musim semi tiba, retakan-retakan es mulai menampakkan lapisan benihnya. Semua lapisan bumi yang sudah membungkusnya selama itu terpecah dan hancur berkeping-keping. Benih menjadi sedikit berbeda karena banyaknya kotoran yang menguburnya.

Tapi dia merasa ada sesuatu yang bergerak dari dalam dirinya. Sambil membersihkan mantel benihnya dan menekan tanah yang menahannya, sebuah akar terus tumbuh menembus ke dalam tanah. Lalu sebuah tunas mulai muncul dan tumbuh menuju ke atas. Batu-batuan dan sisa-sia lumpur di sekitarnya jadi pelindung baginya dari ancaman kalau-kalau diinjak oleh manusia.

Di suatu pagi, tunas hijau itu disinari oleh matahari pagi. Burung kembali bernyanyi lagi. Di atasnya, pohon mapel bertepuk tangan. Sekali lagi angin membelainya dan menyambutnya.

“Dimana kau saat aku dalam kegelapan?” ucap tunas mapel sambil menangis.

“Aku tak pernah pergi darimu,” ucap angin.

“Pasti sulit sekali ya,” lanjutnya.

“Ya. Aku mati sendirian. Tapi aku kembali hidup,” jawabnya.

“Dan sekarang kau punya akar-akar dan batang. Dan tak lama lagi kau akan punya cabang, daun, kulit dan bijimu sendiri. Kau akan menemukan air, dan kepalamu akan berada di atas kepala tupai-tupai sebelum musim-musim selanjutnya datang. Kau akan memberi makan banyak mahluk hidup, dan tidak hanya hidup lama tapi kau akan menghasilkan lebih banyak kehidupan” terang sang angin.

Kisah benih mapel ini mengingatkan kita soal ayat Yohanes 12: 24, “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” Benih mapel mengalami perjalanan dimana dia rela mati terlebih dahulu. Tapi, kematian itulah yang justru membuatnya kembali hidup dan menjadi sebuah pohon mapel yang gagah dan kuat serta menghasilkan banyak buah. Apakah kita sudah menjadi benih yang mati dan bersedia dipakai Tuhan untuk melakukan perkara-perkara besar?Renungkanlah firman ini dan berdoalah meminta supaya Tuhan memproses hidupmu menjadi lebih baik lagi.


Benih tidak bisa menghasilkan kebangkitan, sebelum dia jatuh habis ke tanah dan mati

Ikuti Kami