Dua Sikap yang Harus Dihindari Agar Tidak Menjadi Orang Tua yang Ekstrim untuk Anak
Sumber: istockphoto.com

Parenting / 5 May 2023

Kalangan Sendiri

Dua Sikap yang Harus Dihindari Agar Tidak Menjadi Orang Tua yang Ekstrim untuk Anak

Aprita L Ekanaru Official Writer
2081

Bagaimana seorang anak dibesarkan akan sangat mempengaruhi pola-pola yang akan diserapnya hingga dewasa. Apabila anak mengalami masa pertumbuhan yang menyenangkan, maka akan ada kecenderungan yang kuat di dalam dirinya ketika menjadi orang tua untuk menggunakan teknik mendidik anak yang sama dengan cara dahulu mereka dididik. Namun, ada pula kemungkinan bahwa mereka akan menjadi orang tua yang salah mendidik anak karena dibesarkan dengan salah didikan pula.

Tidak sedikit orang tua yang mendidik anak-anaknya dengan membawa pengaruh pengalaman masa kecilnya yang belum terpecahkan, seperti ketakutan, konflik, atau kekecewaan. Jika hal tersebut dibiarkan terus berlanjut, maka mereka akan cenderung menjadi orang tua bagi masa lalu mereka daripada menjadi orang tua bagi anak-anak mereka, dengan cara memproyeksikan segala ketakutan dan kecemasan akan kehidupan kepada anak-anak mereka.

 

BACA JUGA: [PART 1] Otoritas dan Pernyataan Firman Tuhan yang Jadi Pedoman Bagi Orang Tua

 

Bila masa lalu Anda kurang baik, Anda dapat memutuskan lingkaran peran orang tua yang tidak benar di masa lalu. Didiklah Anda dengan menggunakan cara Allah. Dua sikap ini adalah hal yang harus Anda hindari agar tidak menjadi orang tua yang ekstrim:

1. Orang Tua Otoriter

Sikap otoriter menjadi hal umum pada 60 tahun pertama abad ini yang berkaitan erat dengan etika Yahudi/Kristen. Namun, sikap ini lebih cenderung memperhatikan larangan-larangan daripada usaha untuk meningkatkan hal-hal yang baik. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga otoriter, pada umumnya menyesuaikan diri dan berkelakuan baik karena takut dimarahi, bukan karena cinta akan hal-hal yang baik.

Masa kejayaan prinsip-prinsip otoriter ini, mengajarkan anak-anak bagaimana bertingkah laku dalam masyarakat merupakan tugas para orang tua, lingkungan, gereja, dan guru. Orang tua yang suka melarang seringkali membolehkan pemakaian cara-cara tertentu untuk mencapai tujuan, atau seseorang dapat melakukan apapun untuk menyesuaikan diri dengan aturan masyarakat.

Orang Tua Otoriter cenderung memanipulasi perasaan anak-anak mereka, bukan lingkungannya. Mereka mempermainkan beberapa perasaan yang saling behubungan seperti: kasih, rasa bersalah dan ketakutan. Contohnya: "Susi, kalau kamu terus melakukan itu, Ibu tidak akan sayang kamu lagi," atau "Bersikaplah baik di toko nanti atau Ayah akan memanggil petugas rumah yatim-piatu untuk datang dan mengambil kamu." Walaupun orang tua menggunakan rasa takut dan kasih dengan syarat sebagai senjata mereka, orang tua jenis ini tidak sebegitu merusak pribadi dan sosial si anak seperti halnya Orang Tua Permisif.

 

BACA JUGA: [PART 2] Otoritas dan Pernyataan Firman Tuhan yang Jadi Pedoman Bagi Orang Tua

 

2. Orang Tua Permisif

Teori permisif yang mendominasi masyarakat Amerika sejak tahun 1960-an, mengubah fokus orang tua dari memperhatikan larangan-larangan dan usaha meningkatkan hal-hal baik, menjadi memberikan perhatian pada bagaimana menciptakan lingkungan yang baik bagi anak-anak. Orang tua permisif cenderung mengurangi pengawasan terhadap anak untuk menghindari perasaan buruk, sehingga standar pendidikan anak diukur dari perasaan orang tua dan anak, bukan hasil akhir perilaku anak. 

 

BACA HALAMAN SELANJUTNYA >>

Orang tua yang terlalu toleran pada perilaku buruk anak dapat menyebabkan anak kehilangan kendali. Kesabaran dan toleransi tidak sama, kita harus sabar dengan anak tetapi tidak toleran pada perilaku buruk. Bertoleransi terhadap semua perilaku buruk dapat mengubah konsep kejahatan dalam masyarakat.

Kebebasan merupakan masalah besar dalam masyarakat kita. Orang tua sering terlalu toleran terhadap pandangan salah tentang karakter baik dan mengabaikan pandangan yang sesuai dengan apa yang dipandang sebagai perilaku baik dan jahat dalam Alkitab. Toleransi terhadap perilaku buruk sangat berbahaya dan mengubah konsep kejahatan dalam masyarakat. Mengajarkan orang tua untuk bertoleransi pada dosa anak dapat menanam benih kehancuran pada keluarga dan masyarakat.

 

BACA JUGA: 3 Cara Membangun Keluarga Ilahi yang Berpedoman pada Nilai-Nilai dalam Alkitab

 

Hal ini menerangkan sebagian dari alasan mengapa para pencetus teori permisif mengabaikan pendidikan moral yang seharusnya diberikan secara utuh. Sebagaimana yang didengungkan oleh sebagian bear pencetus teori permisif bahwa setiap anak dilahirkan dengan memiliki moral yang baik, atau paling tidak netral, dengan demikian tidak ada alasan bagi orang tua untuk melatih anak-anaknya bagaimana hidup dengan baik dan benar, sebab secara alami mereka dilahirkan dengan memiliki kemampuan untuk tidaktaat, bukan keinginan untuk tidak taat.

Teori yang mengatakan bahwa anak dilahirkan dengan sifat moral yang baik memiliki masalah serius karena tidak dapat menjelaskan mengapa anak-anak yang tadinya baik dapat melakukan perbuatan buruk. Pencetus teori permisif menyalahkan orang tua atas hancurnya sifat dasar anak, padahal anak dilahirkan dengan kecenderungan suka melawan dan berpusat pada diri sendiri. Mereka juga mengklasifikasikan perilaku anak berdasarkan kejiwaan si anak, yang dapat menimbulkan pengartian yang berbeda-beda.

Orang Tua Permisif sering memanipulasi keadaan atau mengelabui anak agar dapat bersikap benar. Namun, cara ini hanya sementara dan tidak akan membantu anak belajar menjadi mandiri dan bertanggung jawab. Setelah era kebebasan tahun 1960-an, muncul praktek psikologi pemutarhalikan yang berusaha menarik perhatian keinginan daging si anak atau hasratnya untuk membuat keputusan sendiri. Sebagai orang tua, ada cara yang lebih baik untuk mendidik anak agar melakukan perbuatan yang benar dan bertanggung jawab.

 

BACA JUGA: Memahami Dampak Negatif Pola Asuh Otoriter pada Anak

 

Kita sebagai orang tua harus bertanggung jawab atas pendidikan anak kita dan memberikan teladan yang baik. Kita juga perlu membimbing anak-anak dalam memahami nilai-nilai moral yang benar dan memberikan konsekuensi yang sesuai ketika mereka melanggar nilai tersebut. Selain itu, kita juga perlu memberikan kesempatan kepada anak untuk berbicara dan menyampaikan pendapat mereka, sehingga mereka dapat belajar memahami konsekuensi dari keputusan yang mereka buat. Dengan begitu, anak-anak dapat belajar menjadi mandiri dan bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri.

Sumber : Anne Marie Ezzo and Gary Ezzo | Jawaban.com
Halaman :
Tampilkan per Halaman

Ikuti Kami