Bagaimana seorang anak dibesarkan akan sangat mempengaruhi pola-pola yang akan diserapnya hingga dewasa. Apabila anak mengalami masa pertumbuhan yang menyenangkan, maka akan ada kecenderungan yang kuat di dalam dirinya ketika menjadi orang tua untuk menggunakan teknik mendidik anak yang sama dengan cara dahulu mereka dididik. Namun, ada pula kemungkinan bahwa mereka akan menjadi orang tua yang salah mendidik anak karena dibesarkan dengan salah didikan pula.
Tidak sedikit orang tua yang mendidik anak-anaknya dengan membawa pengaruh pengalaman masa kecilnya yang belum terpecahkan, seperti ketakutan, konflik, atau kekecewaan. Jika hal tersebut dibiarkan terus berlanjut, maka mereka akan cenderung menjadi orang tua bagi masa lalu mereka daripada menjadi orang tua bagi anak-anak mereka, dengan cara memproyeksikan segala ketakutan dan kecemasan akan kehidupan kepada anak-anak mereka.
BACA JUGA: [PART 1] Otoritas dan Pernyataan Firman Tuhan yang Jadi Pedoman Bagi Orang Tua
Bila masa lalu Anda kurang baik, Anda dapat memutuskan lingkaran peran orang tua yang tidak benar di masa lalu. Didiklah Anda dengan menggunakan cara Allah. Dua sikap ini adalah hal yang harus Anda hindari agar tidak menjadi orang tua yang ekstrim:
1. Orang Tua Otoriter
Sikap otoriter menjadi hal umum pada 60 tahun pertama abad ini yang berkaitan erat dengan etika Yahudi/Kristen. Namun, sikap ini lebih cenderung memperhatikan larangan-larangan daripada usaha untuk meningkatkan hal-hal yang baik. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga otoriter, pada umumnya menyesuaikan diri dan berkelakuan baik karena takut dimarahi, bukan karena cinta akan hal-hal yang baik.
Masa kejayaan prinsip-prinsip otoriter ini, mengajarkan anak-anak bagaimana bertingkah laku dalam masyarakat merupakan tugas para orang tua, lingkungan, gereja, dan guru. Orang tua yang suka melarang seringkali membolehkan pemakaian cara-cara tertentu untuk mencapai tujuan, atau seseorang dapat melakukan apapun untuk menyesuaikan diri dengan aturan masyarakat.
Orang Tua Otoriter cenderung memanipulasi perasaan anak-anak mereka, bukan lingkungannya. Mereka mempermainkan beberapa perasaan yang saling behubungan seperti: kasih, rasa bersalah dan ketakutan. Contohnya: "Susi, kalau kamu terus melakukan itu, Ibu tidak akan sayang kamu lagi," atau "Bersikaplah baik di toko nanti atau Ayah akan memanggil petugas rumah yatim-piatu untuk datang dan mengambil kamu." Walaupun orang tua menggunakan rasa takut dan kasih dengan syarat sebagai senjata mereka, orang tua jenis ini tidak sebegitu merusak pribadi dan sosial si anak seperti halnya Orang Tua Permisif.
BACA JUGA: [PART 2] Otoritas dan Pernyataan Firman Tuhan yang Jadi Pedoman Bagi Orang Tua
2. Orang Tua Permisif
Teori permisif yang mendominasi masyarakat Amerika sejak tahun 1960-an, mengubah fokus orang tua dari memperhatikan larangan-larangan dan usaha meningkatkan hal-hal baik, menjadi memberikan perhatian pada bagaimana menciptakan lingkungan yang baik bagi anak-anak. Orang tua permisif cenderung mengurangi pengawasan terhadap anak untuk menghindari perasaan buruk, sehingga standar pendidikan anak diukur dari perasaan orang tua dan anak, bukan hasil akhir perilaku anak.
Sumber : Anne Marie Ezzo and Gary Ezzo | Jawaban.com