Perubahan jaman
membuat semua aspek hidup juga ikut berubah. Baik lifestyle, pola pikir dan nilai-nilai hidup juga turut berubah. Setidaknya,
pemandangan inilah yang kita lihat saat ini setiap harinya. Kita bisa lihat bagaimana
cara anak-anak muda millennial berpakaian, bersolek dan bagaimana cara mereka menjalani hidup.
Salah satu perubahan
yang banyak dipertanyakan adalah banyaknya anak muda dan bahkan orang dewasa laki-laki yang mulai berambut panjang, brewokan lengkap dengan celana sobeknya.
Pemandangan
ini seolah bertentangan dengan apa yang disebutkan dalam 1 Korintus 11: 14, “Bukankah alam sendiri menyatakan kepadamu, bahwa adalah kehinaan bagi laki-laki, jika ia berambut panjang..”
Hal ini akhirnya
memunculkan pertanyaan penting di kalangan orang Kristen. “Bisa gak sih cowok gondrong (panjang rambut)?”
Nah, untuk menjawab
hal ini. Mari kembali mengulik maksud Paulus menyampaikan ucapannya di dalam 1 Korintus 11: 13-15.
Dalam sejarahnya, gereja Korintus saat itu benar-benar berada di tengah kontroversi tentang peran pria dan wanita dan mempertanyakan aturan gereja yang harus diterapkan saat itu. Salah satu kebiasaan yang diterapkan masyarakat Korintus kala itu adalah peraturan wajib bagi wanita untuk menggunakan cadar sebagai bentuk kepatuhan kepada suami. Sementara wanita yang tak mengenakan cadar dianggap sebagai pelacur atau pemberontak. Karena itulah setiap wanita yang tidak mengenakan jilbab atau cadar ke gereja dianggap telah mencemarkan suaminya dan melanggar adat istiadat yang berlaku di masyarakat.
Baca Juga : Cowok Brewokan, Yay or Nay?
Serupa halnya
dengan para pria, mereka diwajibkan melepaskan penutup kepala mereka selama mengikuti
ibadah gereja. Mereka yang mengenakan penutup kepala justru tak akan diijinkan memasuki rumah ibadah. Begitulah tradisi budaya di Korintus saat itu.
Jadi, ucapan
Paulus di 1 Korintus 11 : 14 sebenarnya menekankan supaya kita mengikuti norma
yang berlaku di tempat dimana kita tinggal. Tentu saja ada beberapa tempat yang
justru gak mempermasalahkan hal ini, sehingga pria bisa dengan bebas berambut
panjang. Karena itulah Paulus mendesak gereja untuk menyesuaikan diri dengan gagasan-gagasan umum yang berlaku dalam masyarakat. Dengan pengertian lain Paulus menyampaikan bahwa:
1. Kita harus mematuhi aturan-aturan dalam masyarakat mengenai peran pria dan wanita. Misalnya, pria harus tampil seperti pria dan wanita harus
tampil seperti wanita. Karena memang Tuhan tidak menciptakan pria dan wanita dalam peran abu-abu.
2. Sebagai orang yang lahir di negara Timur yang
menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, kita pasti punya norma adat yang berbicara soal hal ini. Misalnya seperti di suku Batak, pria berambut gondrong dianggap
kurang pantas karena terkesan urakan, begitu sebaliknya dengan wanita berambut pendek.
Jadi, saat lingkungan
dimana kita tinggal dengan jelas menerapkan aturan-aturan ini, maka kita
harusnya mematuhinya. Jangan memberontak hanya karena kamu ingin merasakan ‘kebebasan’ pribadi.
3. Jangan menukar peran pria dan wanita sebagaimana sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Jelas salah satu pelanggaran yang terjadi belakangan ini
adalah munculnya kaum Lesbian, Gay, Biseks, Transgender (LGBT) yang seolah ingin menukar posisi pria menjadi wanita dan sebaliknya.
Contoh sederhana
lain yang bisa membuat kita lebih paham misalnya seperti seorang pendeta. Seorang
pendeta pasti akan dituntut untuk berpenampilan rapih, terhormat dan berwibawa di
depan jemaatnya. Dia tentu akan mengenakan jas paling bagus lengkap dengan dasi
dan dengan potongan rambut yang rapih. Coba bayangkan kalau pendeta pria mengenakan
gaun, sepatu high heels, dan berambut
gondrong dan urakan, tentu saja jemaat akan mulai protes dan menilai pendeta tersebut
tak pantas berdiri di podium.
Jadi, sama halnya
dengan itu kita harus memposisikan diri kita dengan penampilan yang pantas di tempat
dimana kita berada.