Arti Sebuah Kematian
Sumber: Jawaban.com

Kata Alkitab / 8 June 2023

Kalangan Sendiri

Arti Sebuah Kematian

Yenny Kartika Official Writer
62653

“Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran. Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya. Bersedih lebih baik dari pada tertawa, karena muka muram membuat hati lega. Orang berhikmat senang berada di rumah duka, tetapi orang bodoh senang berada di rumah tempat bersukaria.” ( Pengkotbah 7:1-4)

 

Kebanyakan manusia memiliki paradigma bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Ada tangisan, kehilangan, dan kemuraman dalam setiap kematian. Jelas saja, kematian ‘kan akhir hidup. Kematian adalah akhir dari eksistensi manusia. Kematian juga begitu mengerikan karena misteri yang terkandung di dalamnya: apa yang terjadi saat mati dan ke mana perginya gerangan? Manusia modern bisa begitu bangga dengan dirinya, apalagi jika ia bisa menguasai alam semesta. Namun, pada akhirnya ia akan menjadi debu, dan debu kembali kepada alam. Akhirnya manusia ditaklukkan oleh alam. Kematian adalah sesuatu yang mengenaskan.

Namun Pengkhotbah beranggapan lain. Menurut pandangannya, kematian adalah sesuatu yang positif. Kita akan renungkan ayat-ayat berikut ini yang berbicara tentang kematian dan arti hidup.

 

“Nama yang harum lebih baik daripada minyak yang mahal”

Apalah arti sebuah nama? Begitu komentar dunia. Namun Alkitab berbicara mengenai pentingnya sebuah nama. Bahkan nama itu lebih berharga daripada kekayaan dunia. Amsal mengatakan bahwa nama baik lebih berharga dari pada kekayaan besar. ([kitab]Amsal22:1[/kitab])

Di akhir hidup seseorang, kita dapat mengetahui siapakah orang itu. Seseorang yang banyak menabur berkat, di akhir hidupnya banyak orang yang bersimpati. Begitu juga sebaliknya.

Ini seharusnya membuat kita merenung, mau menjadi seperti orang macam apakah kita? Bagaimana kita harus hidup supaya hidup kita berarti bagi Tuhan dan sesama? Apa yang harus kita tabur supaya menuai yang baik?

 

Baca Juga: Dalam Kehidupan atau Kematian, Kasih Yesus Selalu Ada

 

“Hari kematian lebih baik daripada hari kelahiran”

Di telinga kalangan umum, ayat ini terdengar cukup aneh. Pasalnya, manusia biasanya menyukai kelahiran daripada kematian. Kelahiran itu sesuatu yang menyenangkan dan melihat bayi kecil adalah sesuatu yang menyukakan. Kelahiran adalah sesuatu yang baik, namun tidak demikian dengan kematian.

Kematian adalah sesuatu yang menandakan hidup ini fana, sementara, dan terbatas. Maka pada umumnya orang tidak menyukai kematian. Namun Pengkhotbah mengatakan bahwa hari kematian lebih baik daripada hari kelahiran. Mengapa demikian?

Rahasia besar ini hanya bisa dimengerti oleh orang yang percaya kepada Tuhan. Memang kita tahu bahwa kematian adalah satu akibat dari dosa. Kematian adalah sesuatu yang membawa kita kepada akhir di dalam hidup di dunia. Tetapi bukan berarti kematian adalah sesuatu yang mengerikan atau asing. Bagi orang percaya kematian adalah sesuatu yang indah. Mengapa? Pertama, kita akan kembali kepada Tuhan yang mengasihi kita. Kita akan bersekutu dengan sumber hidup dan sumber bahagian untuk selama-lamanya. Kedua, kita akan mengakhiri hidup yang penuh dengan air mata ini. Kita akan masuk ke dalam hidup yang kekal. Kita akan hidup selama-lamanya dengan Tuhan Allah.

 

Baca Juga: Kita Diselamatkan dari Kematian dan Beroleh Kehidupan Kekal dalam Tuhan

 

Paulus bahkan mengatakan bahwa mati adalah keuntungan. “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” (Filipi 1:21). Pintu masuk yang membawa manusia kepada neraka diubah Tuhan melalui karya Kristus menjadi pintu kepada hidup yang kekal. Jadi, bagi orang percaya kematian justru hal memberikan pengharapan, yakni hidup yang kekal.

“Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya. Bersedih lebih baik dari pada tertawa, karena muka muram membuat hati lega. Orang berhikmat senang berada di rumah duka, tetapi orang bodoh senang berada di rumah tempat bersukaria.”

Sebelum membahas ayat ini, terlebih dahulu kita harus paham bahwa kitab Pengkhotbah adalah merupakan kitab hikmat bangsa Ibrani. Kitab ini mengajarkan bagaimana petuah-petuah untuk hidup berhikmat.

Ayat di atas merupakan hal yang kontradiktif bagi pemikiran kita pada umumnya. Namun, sebetulnya Pengkhotbah sedang mengajak kita merenung, bahwa ketika kita sedang berada di dalam keadaan suka, biasanya kita tidak memikirkan arti hidup. Dalam keadaan serba senang dan nyaman, kita cenderung melupakan makna hidup yang dalam.

Mari kita merenungkan satu realita di dalam hidup manusia. Sudah menjadi satu pandangan yang benar bahwa terkadang orang yang sehat, makmur, dan sangat kaya akan lebih sukar memahami perkara rohani dan arti bergantung kepada Tuhan, dibandingkan dengan seseorang yang berada dalam keadaan sakit, miskin, dan melarat. Yesus bahkan pernah berkata bahwa ada orang kaya yang sukar masuk kerajaan sorga. Ini bukan pengajaran bahwa kaya dan makmur itu tidak rohani, tetapi mengajarkan bahwa kekayaan seringkali membuat orang lupa akan Tuhan karena sukar bergantung kepada-Nya. Tetapi orang miskin yang tertindas biasanya lebih bergantung kepada Tuhan karena dia sadar bahwa dia bisa hidup adalah karena anugerah Tuhan.

 

Baca Juga: 15 Ayat Alkitab untuk Pemakaman Ini Memberi Penghiburan Pada yang Berduka

 

Kembali kepada kitab Pengkotbah, di sana kita diajak merenung bahwa rumah duka lebih baik daripada rumah pesta, karena di dalam rumah pesta orang seringkali bersukaria dan melupakan Tuhan. Sebaliknya di dalam rumah duka, seseorang dapat menyadari beberapa hal:

1. Hidup ini sementara

2. Segala kekayaan hidup ini akhirnya habis

3. Yang tertinggal hanyalah nama

4. Hidup ini fana

5. Manusia itu lemah

6. Manusia itu terbatas

Semua hal ini membuat manusia merenung tentang apa arti hidupnya. Di rumah duka seseorang seharusnya mulai memikirkan nilai-nilai kehidupan yang lebih mulia dan kekal daripada nilai-nilai yang sementara dan yang akan tersapu dengan waktu.

Marilah kita merenungkan bahwa realita kematian adalah realita yang membuat kita memikirkan apa arti hidup kita. Bagaimana kita menjalani hidup ini? Bagaimana kita ingin mati kelak?

Sumber : Jeffrey Lim, Institut Reformed | yk
Halaman :
1

Ikuti Kami