Ancaman Konsumerisme Perayaan Natal

Internasional / 19 December 2007

Kalangan Sendiri

Ancaman Konsumerisme Perayaan Natal

yosefel Official Writer
6626
Perayaan Natal yang makin meriah, tidak hanya di gereja, tetapi sudah merambah mal, café atau hotel. Ini merupakan kebiasaan di dunia Barat yang mulai masuk ke Indonesia. Di Barat, Natal bukanlah perayaan keagamaan melainkan perayaan budaya. Jadi, meski bukan Kristen, orang-orang disana juga ikut merayakan Natal.

Fenomena konsumerisme yang menyertai perayaan Natal memang sebuah kenyataan yang tak terelakkan. Realitanya, masyarakat kita memang sangat konsumtif. Menurut hasil survei, dalam waktu 25 tahun terakhir, rumah tangga Indonesia mengalami revolusi konsumsi yang luar biasa. Belanja untuk produk air conditioner naik 332%, TV kabel 600%, kamera 471%, sepeda motor 17.430%, mesin cuci piring 291%, dan telepon 1.643% (Kompas, 23 September 2006). Rupanya, kebiasaan berbelanja itu kemudian juga terbawa dalam merayakan Natal.

Kecenderungan menilai derajat seseorang berdasar apa yang dimiliki dan dipakai, membuat orang menjadi berbelanja berlebihan. Kebiasaan itu kemudian merembet ke "aktivitas rohani" dalam merayakan Natal. Natal adalah saatnya berbelanja. Pusat perbelanjaan mengakui, event Natal turut mendongkrak omzet dan meningkatkan pengunjung. Bahkan, di pusat perbelanjaan terbesar di Surabaya, promosi event Natal justru mendapat porsi yang paling besar sepanjang tahun. Bahkan lebih besar dari Lebaran. Fantastis! Bukankah menurut statistik jumlah yang merayakan Lebaran jauh lebih banyak daripada yang merayakan Natal?

Ancaman Konsumerisme
Beberapa kalangan melihat konsumerisme yang menyertai perayaan Natal ini merupakan sebuah ancaman. Pesan, semangat serta makna terdalam religiusitas Natal seakan tergantikan oleh pesan dan semangat dari gelombang konsumerisme ini.

Natal, tak lagi identik dengan kesederhanaan, solidaritas dengan kaum tersisih, ketulusan dalam memberi, seperti yang diperlihatkan Yesus dalam kelahiran-Nya. Baju bermerek, perhiasan mahal, christmas eve dinner di hotel berbintang atau restoran mewah menggantikan semua kesederhanaan itu. Sebuah paradoks dari makna kelahiran Yesus sendiri.

Esensi Natal
Seharusnya, menurut Romo Franz Magnis Suseno, Natal justru bisa menjadi counter point terhadap rangsangan konsumerisme. Yesus memilih lahir di kandang domba, sebagai anak dari tukang kayu. Kesederhanaan dari keluarga Yesus, seharusnya merupakan suatu alasan kuat untuk merenungkan kembali gaya hidup konsumtif yang mungkin "sudah keterlaluan" ini.

Selain kesederhanaan, Natal juga mengandung makna kesetaraan dan kesediaan berbagi. Kelahiran Yesus di kandang domba, menyatukan gembala yang mewakili orang miskin dengan orang majus yang mereprentasikan orang kaya. Peristiwa ini menghapuskan perbedaan kelas antara si kaya dan si miskin.

Yesus juga memberikan teladan dalam memberi. Allah dengan kasih-Nya yang besar memberikan putra-Nya yang tunggal untuk turun ke dunia dan menebus dosa manusia. Melalui peristiwa ini, kita diajak untuk mengasihi orang lain. Memiliki ketulusan hati untuk memberi tanpa mengharapkan timbal balik.

Makna yang hilang
Rupanya, esensi Natal itulah yang kini luntur. Konsumerisme dalam merayakan Natal menunjukkan bahwa orang masih menghayati Natal sebatas permukaan. Natal hanya dikaitkan dengan simbol-simbol yang sebenarnya justru tidak berhubungan dengan Natal itu sendiri.

Lalu bagaimana supaya masyarakat tidak terjebak dalam perayaan yang bersifat artifisial itu?

Pertama, gereja perlu menjaga agar pusat berita Natal yaitu Tuhan yang datang ke dalam dunia tetap terpelihara.

Kedua, harus selalu ada upaya untuk mewujudkan solidaritas Tuhan kepada seluruh ciptaan-Nya baik pada saat merayakan Natal maupun di waktu-waktu sesudah dan sebelumnya. Dengan refleksi dan aksi tersebut, kiranya perayaan Natal tetap bermakna
Halaman :
1

Ikuti Kami