Membesarkan tiga anak adalah sebuah anugerah sekaligus tanggung jawab besar. Hal itu dialami oleh Nina Sinagabariang, seorang ibu berusia 55 tahun yang setia melayani di gereja.
Anak pertamanya, Bait, bertumbuh dengan penuh kasih sayang sejak lahir. Ia menjadi anak yang disenangi banyak orang, berhasil secara akademik, dan kini melanjutkan studi hingga ke luar negeri.
Sementara itu, anak bungsu Semi sempat mengalami keterlambatan perkembangan. Karena kondisinya, orangtua memberi perhatian penuh kepadanya. Kasih sayang yang berlimpah itu membuat Semi bertumbuh dan akhirnya berhasil masuk PTN di Medan.
Namun, fokus keluarga yang banyak tercurah pada Semi inilah yang membuat Ale, anak kedua, merasa kurang diperhatikan dan tumbuh dengan luka terabaikan.
“Ale (sapaan akrab Aleluya di rumah) ini jadi terabaikan… dia jarang mendapat sentuhan dari orangtuanya,” ujar Nina dengan jujur.
BACA JUGA: Meilani Belajar Jadi Orang Tua yang Hadir Setelah Anaknya Hampir Salah Jalan Karena Gadget
Sejak SD hingga SMP, Ale seringkali remedial, sulit mengikuti pelajaran, bahkan kerap sakit ketika hendak sekolah. Ia pun tumbuh dengan rasa minder dan merasa dirinya gagal.
“Saya sering dipanggil guru, dan saya juga stress… sampai saya bilang Ale pemalas,” kenang Nina yang sekarang ini menyadari bahwa kata-kata itu justru semakin melukai Ale yang sudah kehilangan rasa percaya diri.
Namun, pemulihan keluarga ini dimulai ketika Nina dan suaminya mengikuti The Parenting Project (TPP) yang diadakan di gerejanya, GBI BICC, Pekanbaru.
Lewat modul tentang tangki emosi anak, Nina dan suaminya disadarkan bahwa masalah Ale bukan sekedar akademik, melainkan kekosongan kasih sayang dari orang tua. “Kami sadar harus bertobat. Bukan salah anak, tapi kesalahan kami,” ucap Nina.
BACA JUGA: Saya Pikir Sudah Gagal Jadi Ibu, Tapi Tuhan Izinkan Kami Berproses Jadi Keluarga Pulih
Sejak itu, mereka mengubah pola asuh, memberi perhatian dan waktu berkualitas, khususnya untuk Aleluya yang selama ini tanpa sadar seringkali terabaikan.
Setiap minggu selalu ada satu hari khusus untuk quality time bersama Ale. Kata-kata negatif diganti dengan perkataan yang membangun. “Dulu saya bilang ‘kamu pemalas,’ tapi sekarang saya bilang ‘Tuhan tuntun langkah hidupmu,’” kata Nina.
Tak hanya itu, mereka juga membiasakan saat teduh, mezbah keluarga, serta ibadah pagi bersama lewat Zoom. Perlahan, hasilnya terlihat. Ale yang dulunya pemurung kini lebih hangat, bahkan sering memeluk dan mencium ibunya.
“Kalau dulu dia suka sendiri, tapi sekarang dia tiba-tiba peluk saya, tiba-tiba cium saya,” tutur Nina dengan bahagia.
Semangat belajarnya pun pulih. Jika dulu Ale seringkali remedial, di SMA justru Ale berhasil meraih juara kelas. Bahkan ia lolos ke salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Pekanbaru, hingga masuk kelas unggulan berbahasa Inggris dengan peringkat 6 dari 240 peserta.
BACA JUGA: Dulu Doa Aja Susah, Sekarang Anak Ibu Ini Bikin Komunitas Alkitab! Gimana Ya Kisahnya?
Kini, Ale bukan hanya berhasil secara akademik, tetapi juga bertumbuh dalam pelayanan dan hubungan yang sehat dengan keluarganya. Bagi Nina, semua ini adalah bukti kuasa Tuhan yang bekerja melalui pola asuh yang benar.
Kisah Ale mengajarkan kita bahwa ketika tangki kasih anak penuh dan ditopang Firman Kristus, anak-anak mampu mengembangkan potensinya secara maksimal, baik dalam prestasi maupun dalam kerohanian.
Sebagai penutup, Nina berharap semakin banyak gereja mengadopsi TPP agar lebih banyak keluarga mengalami pemulihan. “Lebih baik lagi kalau para imam juga ikut, bukan hanya istri. Karena lebih mudah kalau bapak ikut menangkap dan menerapkannya,” tambahnya.
Kisah keluarga Nina menjadi saksi bagi kita semua bahwa kasih sayang orang tua, yang berakar pada Kristus, menjadi kekuatan untuk menuntun anak-anak pada masa depan yang penuh harapan.
Ingin tahu lebih lanjut tentang The Parenting Project? Kunjungi https://theparentingproject.id/
Sumber : Jawaban.com