Tak ada yang menyangka bahwa sebuah janji polos dari seorang anak kecil di Jerman akan mengubah arah sejarah gereja di Tanah Batak.
Ludwig Ingwer Nommensen adalah nama anak itu. Di usia 12 tahun, ia mengalami kecelakaan parah yang membuatnya nyaris kehilangan nyawa.
Dalam kondisi terbaring dan nyaris putus harapan, ia mengangkat sebuah janji kepada Tuhan bahwa, “Kalau Engkau sembuhkan aku, aku akan menyerahkan hidupku untuk melayani-Mu.”
Tuhan menjawab doanya. Ia sembuh. Dan Nommensen tidak pernah melupakan nazarnya kepada Tuhan.
Setelah menempuh pendidikan misi di Jerman dan ditahbiskan, Nommensen diutus ke Hindia Belanda. Namun berbeda dari misionaris lain yang menetap di kota, ia memilih menjangkau wilayah yang belum tersentuh Injil, yakni Tanah Batak.
BACA JUGA: HKBP Ajak Kemenpora Berkolaborasi untuk Bangkitkan Generasi Pemuda
Banyak pihak menganggap misinya mustahil. Sebelumnya, beberapa misionaris gagal karena perlawanan adat dan kerasnya medan. Tapi Nommensen tetap melangkah.
Ia mempelajari bahasa Batak, adat istiadat, dan membangun relasi dengan masyarakat setempat.
Ketika ia tiba di Silindung pada 1864, ladang pelayanan itu masih asing, curiga, dan tertutup. Namun perlahan, Injil mulai menyentuh hati. Pada 27 Agustus 1865, ia membaptis orang Batak pertama yang percaya kepada Kristus.
Pertumbuhan gereja tidak hanya terjadi secara rohani, tetapi juga secara struktural. Nommensen tahu bahwa gereja lokal harus berdiri di atas kaki sendiri.
Ia mulai melatih guru Injil dari kalangan orang Batak dan membentuk jemaat-jemaat mandiri.
Pada tahun 1881, ia diangkat menjadi Ephorus atau pemimpin tertinggi dari organisasi gereja yang nantinya dikenal sebagai Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
BACA JUGA: HKBP Buka Suara Soal Pemerintah Izinkan Ormas untuk Kelola Tambang
Inilah tonggak penting dalam sejarah kekristenan Batak, sebuah gereja lokal yang dipimpin oleh orang lokal, namun dibentuk lewat kasih dan pengorbanan seorang asing dari Eropa.
Pelayanannya tidak selalu mulus. Ia harus menghadapi tekanan dari masyarakat adat yang menolak baptisan karena dianggap mencemari tradisi. Ia juga sempat diawasi oleh pemerintah kolonial karena dicurigai membentuk kekuatan baru.
Nommensen juga tidak bebas dari kesepian dan penderitaan. Hidup jauh dari tanah kelahiran, menyaksikan rekan sepelayanan sakit dan meninggal, serta menghadapi tekanan budaya membuat hidupnya penuh pergumulan.
Namun satu hal yang membuatnya bertahan adalah kasihnya pada Tuhan dan panggilan terhadap jiwa-jiwa.
Hasil pelayanan Nommensen sungguh luar biasa. Dalam tujuh tahun pertama, lebih dari 1.000 orang dibaptis.
Sepuluh tahun kemudian, jumlahnya mencapai lebih dari 6.000 jiwa. Ia juga membangun sekolah, rumah sakit, dan menciptakan terjemahan Alkitab dalam bahasa Batak.
BACA JUGA: Sejarah Kristen di Sumatera: Jejak Kekristenan di Tanah Batak
Buah pelayanannya pun terlihat dalam perubahan kehidupan. Masyarakat yang dulu keras dan penuh balas dendam, berubah jadi masyarakat yang penuh kasih dan mau mengampuni.
Ludwig Ingwer Nommensen tidak pernah kembali ke Jerman. Ia memilih wafat dan dikuburkan di antara orang-orang yang dilayaninya. Ia meninggal pada 23 Mei 1918 di Sigumpar, Sumatera Utara.
Warisannya terus hidup dan Nommensen diabadikan sebagai nama universitas, dan semangat pelayanannya menjadi teladan hingga kini. Tanpa dia, mungkin HKBP tidak akan pernah berdiri.
Ingin menyelami lebih dalam kisah Ludwig Ingwer Nommensen dan asal mula HKBP? Tonton video lengkapnya di bawah ini dan temukan bagaimana satu janji kepada Tuhan bisa mengubah sejarah sebuah bangsa:
Sumber : Jawaban Channel