Seiring wafatnya Paus Fransiskus pada 21 April 2025 lalu, seluruh dunia Katolik kini menantikan momen sakral yaitu konklaf, proses tertutup yang akan menentukan pemimpin Gereja Katolik selanjutnya.
Dari sekian banyak tokoh penting yang akan berkumpul di Roma, satu nama mewakili Indonesia adalah Kardinal Ignatius Suharyo. Kehadirannya menjadi penanda penting dalam sejarah perjalanan Gereja Katolik Tanah Air.
Kardinal Suharyo dijadwalkan terbang ke Vatikan pada Minggu, 4 Mei mendatang. Ia akan bergabung dengan para kardinal dari berbagai belahan dunia dalam proses pemilihan yang berlangsung secara tertutup di Kapel Sistina, Vatikan.
Di sana, mereka akan berdoa, berdiskusi, dan akhirnya memilih pengganti Tahta Suci yang baru. Namun, bagaimana persiapan sang kardinal menghadapi tugas penting ini?
Menariknya, dalam sebuah pernyataan kepada media, Uskup Agung Jakarta tersebut mengaku tidak melakukan persiapan khusus.
"Saya kira-kira sudah bisa membayangkan siapa yang nanti banyak berbicara, siapa yang akan banyak mengemukakan gagasan. Tapi siapa yang akan terpilih? Tidak ada yang tahu," ujar Suharyo.
Pernyataannya menunjukkan kerendahan hati dan keterbukaan terhadap tuntunan Roh Kudus dalam proses yang sangat menentukan masa depan Gereja ini.
Baca Juga: Suster Genevieve Diizinkan Melanggar Protokol di Pemakaman Paus Fransiskus, Kok Bisa?
Apa Latar Belakang Ignatius Suharyo dan Bagaimana Perjalanan Hidupnya?
Lahir pada 9 Juli 1950 di Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Ignatius Suharyo tumbuh dalam keluarga yang kental dengan nilai-nilai religius. Dua saudarinya memilih jalan hidup sebagai biarawati, sementara satu saudara laki-lakinya juga memilih hidup membiara.
Meski sempat memiliki cita-cita menjadi seorang polisi saat kecil, arah hidupnya berubah drastis setelah dibimbing oleh Romo Theodorus Holthuyzen SJ, seorang pastor sekaligus dosen di seminari.
Pada usia 11 tahun, Suharyo memulai pendidikan rohaninya di Seminari Menengah Mertoyudan, Yogyakarta, dan kemudian melanjutkan studi filsafat serta teologi di Pontifical Urban University, Roma.
Langkah-langkah ini membawanya menjawab panggilan Tuhan secara total, hingga akhirnya ditahbiskan sebagai imam pada 26 Januari 1976.
Kapan Ia Mulai Menapaki Jabatan Penting dalam Hierarki Gereja?
Pelayanannya terus meningkat. Pada 22 Agustus 1997, Ignatius Suharyo ditunjuk sebagai Uskup. Lalu, pada 29 Juni 2010, ia resmi menjabat sebagai Uskup Agung Jakarta, menggantikan Mgr. Julius Darmaatmadja.
Tonggak penting dalam perjalanannya terjadi pada 1 September 2019, ketika Paus Fransiskus mengangkatnya sebagai Kardinal. Ia menjadi Kardinal ketiga dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia, setelah Justinus Kardinal Darmojuwono dan Julius Kardinal Darmaatmadja.
Sebagai Kardinal, ia bukan hanya penasihat spiritual Paus, tetapi juga memainkan peran penting dalam menentukan arah Gereja Katolik secara global.
Baca Juga: 4 Nama Calon Paus yang Menggantikan Paus Fransiskus
Apa Makna Kehadiran Suharyo di Konklaf bagi Umat Katolik Indonesia?
Kehadiran Kardinal Ignatius Suharyo dalam konklaf bukan sekadar simbol kehadiran Indonesia di panggung global Gereja Katolik, melainkan juga menjadi pengingat bahwa suara umat Katolik Indonesia turut diperhitungkan dalam arah masa depan gereja universal.
Suharyo bukan hanya pemimpin rohani, tapi juga Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Ordinaris Militer, yang menaungi umat Katolik di lingkungan TNI dan Polri.
Partisipasinya dalam proses pemilihan Paus baru membawa harapan besar bagi umat Kristiani di tanah air. Melalui doa dan keterlibatannya dalam diskusi internal, Indonesia mengambil bagian aktif dalam momen yang sangat penting bagi sejarah kekristenan dunia.
Sebagai umat percaya, keterlibatan Kardinal Suharyo menjadi ajakan bagi kita untuk turut ambil bagian, paling tidak dalam bentuk doa. Mari mendukung proses konklaf ini agar dijalankan dalam damai, bijaksana, dan sesuai kehendak Tuhan.
Pemilihan Paus bukanlah semata keputusan manusia, tapi sebuah panggilan ilahi yang menentukan arah Gereja dalam menghadapi tantangan zaman modern, termasuk digitalisasi, isu moralitas global, hingga tantangan internal umat.
Sumber : Jawa Pos