Pernahkah Anda membayangkan bahwa di zaman Romawi kuno, salib bukanlah simbol keagamaan seperti yang kita kenal saat ini? Salib justru merupakan lambang kehinaan, yaitu alat eksekusi yang brutal dan memalukan.
Namun hari ini, salib dikenakan sebagai perhiasan, dipajang di gereja, dan dirayakan dalam ibadah Jumat Agung.
Apa yang membuat perubahan ini begitu besar? Mengapa Tuhan Yesus harus mati di salib?
Untuk menjawabnya, kita perlu menyelami makna dari salib sebagaimana dicatat dalam Alkitab sebagai lambang kasih, pengampunan, dan harapan bagi dunia.
Salib: Hukuman Paling Kejam dalam Sejarah
Salib bukan sekadar simbol rohani, tetapi kenyataan mengerikan dari sistem penghukuman Romawi.
Penyaliban dikenal sebagai metode eksekusi paling menyakitkan dan memalukan, dirancang untuk membuat para terhukum menderita secara fisik dan dipermalukan secara sosial.
Mereka digantung di tempat umum, seringkali dalam keadaan telanjang, dibiarkan mati perlahan sebagai peringatan bagi masyarakat.
Yesus, yang sama sekali tidak bersalah, mengalami semua itu. Ia diperlakukan layaknya penjahat, bahkan disebut “terkutuk” karena digantung di kayu salib. (Galatia 3:13)
Di atas kayu salib itulah Yesus menanggung bukan hanya rasa sakit fisik, tetapi juga penghinaan total dan kutuk dosa manusia.
Sidang Kilat yang Sarat Kepentingan
Menjelang penyaliban, Yesus mengalami serangkaian pengadilan yang jauh dari adil. Dimulai dari rumah Imam Besar Kayafas, di mana Ia dituduh menghujat karena mengaku sebagai Anak Allah.
Padahal, pengadilan malam seperti itu jelas melanggar hukum Yahudi sendiri.
Awalnya, tuduhan terhadap Yesus Kristus adalah penghujatan karena Ia mengaku sebagai Mesias dan Anak Allah. Tapi tuduhan berubah saat Ia dibawa ke hadapan Pilatus.
Namun saat dibawa ke hadapan Pilatus, tuduhan itu berubah menjadi politik: bahwa Ia mengaku sebagai Raja Yahudi, ancaman bagi kekuasaan Romawi.
Meskipun Pilatus sendiri tidak menemukan kesalahan pada-Nya (Yohanes 18:38), tekanan massa dan kepentingan politik membuatnya menyerah.
Maka Yesus pun diserahkan untuk disalibkan, menggenapi nubuat Nabi Yesaya:
“Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulut-Nya” (Yesaya 53:7).
Mengapa Yesus Harus Mati di Salib?
Pertanyaan ini adalah inti dari iman Kristen. Alkitab menjelaskan bahwa “upah dosa ialah maut” (Roma 6:23).
Semua manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Karena itu, diperlukan korban yang sempurna untuk menebus dosa manusia dan di sinilah Yesus hadir sebagai Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia (Yohanes 1:29).
Kematian Yesus di kayu salib bukan kecelakaan sejarah, tetapi rencana keselamatan Allah yang telah dinubuatkan sejak lama.
Dari Paskah pertama di Mesir hingga nubuat Nabi Yesaya, semuanya menunjuk pada satu puncak penggenapan, salib.
Bahkan, penyaliban Yesus terjadi tepat saat penyembelihan anak domba Paskah, menegaskan bahwa Ia adalah penggenapan Perjanjian Lama.
Salib, Penderitaan Menuju Kemenangan
Salib bukanlah akhir dari cerita. Pada hari ketiga, Yesus bangkit dari kematian, mengalahkan maut dan membawa hidup kekal bagi semua yang percaya.
Maka, makna salib sekarang ini bukan hanya simbol penderitaan, tetapi juga kemenangan atas dosa, maut, dan neraka.
Seperti yang ditulis dalam 1 Korintus 1:18, “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.”
Melaui salib, kita bisa melihat kasih yang tak terukur dan pengorbanan yang mengubah segalanya.
Anda diberkati dengan tulisan ini? Share artikel ini untuk memberkati mereka yuk.
Video: Mengapa Tuhan Yesus Harus Mati di Salib? Inilah Makna Salib Sebenarnya
Sumber : YouTube Jawaban Channel