Dewi Fajar Indah, atau Dewi Thomas, adalah seorang survivor osteoporosis. Perjalanan hidup Dewi dipenuhi dengan lika-liku, terutama saat ia melahirkan anak kembarnya.
Kehamilan dan Tantangan di Persalinan
Pada awalnya, Dewi mengandung anak kembar laki-laki. Namun, seminggu sebelum persalinan mendadak akibat kontraksi yang dialami, diketahui bahwa anak kembarnya adalah sepasang anak laki-laki dan perempuan.
Keajaiban ini tentunya membuat Dewi dan suaminya, Joshua Thomas merasa bahagia dan bersyukur kepada Tuhan. Namun, Dewi dan Joshua mengalami proses yang begitu berat.
BACA JUGA: Kesaksian Amanda Zevannya: Kekuatan Doa di Tengah Penghakiman
Proses persalinan melalui operasi caesar yang biasanya haya butuh waktu selama 30 menit, berubah menjadi 3,5 jam karena komplikasi yang dialaminya. Dokter menemukan dua kista di rahimnya seberat 500 gram dan yang lain sepanjang 20 cm.
Kista-kista ini mendorong salah satu janinnya yang menyebabkan Dewi harus melahirkan lebih awal pada usia kehamilan 30 minggu, jauh lebih cepat dari usia kehamilan anak kembar normal 38 minggu.
Tantangan Kesehatan Bayi Kembar
Joana, bayi perempuan Dewi, mengalami pecah ketuban, sementara kembarannya, Jacob, harus dibantu oleh dokter untuk memecahkan ketubannya. Paru-paru Jacob belum matang sepenuhnya, sehingga setelah lahir, ia harus segera menggunakan ventilator. Pada saat itu, kondisi kedua bayi kembar Dewi tidak memiliki jaminan bahwa mereka akan bertahan hidup.
Keputusan Besar dan Menopause Dini
Selama operasi, dokter menemukan bahwa ovarium Dewi telah rusak akibat kista, dan Joshua Thomas, suami Dewi, dipanggil ke ruang operasi untuk memberikan persetujuan atas pemotongan kedua ovarium Dewi.
Dalam keadaan tidak bisa berpikir jernih, Joshua hanya bisa memikirkan keselamatan istrinya. Tanpa mengetahui resiko yang akan dialami Dewi kedepannya, Joshua menandatangani persetujuan tersebut dan berkata, “Yang penting istri saya hidup!”
Menurut kesaksian Dewi, Joshua menangis meraung-raung setelah memberikan persetujuan tersebut. Terlebih lagi tidak ada jaminan bahwa kedua anaknya akan bertahan hidup, tetapi yang pasti adalah Dewi tidak lagi bisa memiliki anak.
BACA JUGA: Saya Membalas Pengkhianatan Dengan Pengampunan - Caleb Napitupulu
Tanpa ovarium, Dewi mengalami menopause dini pada usia 28 tahun. Salah satu efek dari kehilangan kedua ovarium adalah risiko osteoporosis.
“Ovarium saya dipotong dua-duanya tanpa sisa sama sekali dengan tidak adanya pengetahuan dari suami saya bahwa ada resiko berkepanjangan. Dan pada saat itu juga saya menopause dini di usia 28 tahun,” ucap Dewi dalam Podcast bersama Solusi TV.
Keajaiban Tuhan dan Kesulitan yang Dihadapi
Meskipun telah kehilangan kedua ovarium, Puji Tuhan kedua anak Dewi berhasil bertahan hidup sampai hari ini sejak lahir pada tahun ...
Atas perkenanan Tuhan, Dewi masih bisa memberikan ASI kepada kedua anak kembarnya, meskipun dokter menyatakan bahwa hal itu seharusnya mustahil.
“Saya masih bisa menyusui anak kembar saya, masih saya susuin dengan ASI saya, itu dahsyat Tuhan. Jadi masih ada sisa kolostrum dalam tubuh saya,” kata Dewi.
Namun, kondisi kesehatannya menjadi sangat rentan.
“Dokter bilang, orang yang berusia di bawah 30 tahun kehilangan kedua ovariumnya, 400% meninggal muda,” ucap Dewi.
Kata-kata tersebut membuat Dewi dan suaminya tidak bisa berpikir dan hanya berserah kepada Tuhan.
BACA JUGA: Terungkap Sisi Lain Randy Pangalila yang Jarang Diketahui Orang
Dewi menjadi kasus pertama di Indonesia yang kehilangan kedua ovarium setelah melahirkan anak kembar, dan orang keempat yang mengalami kondisi serupa di bawah usia 30 tahun.
Tantangan Pengobatan dan Pilihan Hidup
Karena kondisi kesehatannya, Dewi sangat disarankan untuk menjalani terapi hormon. Namun, di Indonesia, tidak ada rumah sakit yang bersedia memberikan terapi tersebut karena risikonya yang tinggi.
“Untuk kasus saya yang kehilangan kedua ovarium, hanya bisa terapi hormon. Tapi di Indonesia, saya sudah coba 5 rumah sakit, semua menolak saya karena itu bisa menyebabkan kanker,” ucap Dewi sambil mengelap air matanya.
Tanpa terapi hormon, Dewi menghadapi risiko tulang yang melunak dan rapuh, namun jika ia menjalani terapi, risikonya adalah kanker dan gangguan ginjal.
“Jadi kondisi saya ini, maju kena, mundur kena. Kalau saya ga terapi hormon, tulang saya akan patah, tulang saya melunak, tulang saya rapuh. Tapi kalau saya terapi hormon, resikonya sangat tinggi untuk kanker dan ginjal,” lanjutnya.
Lalu, bagaimana perjalanan hidup Dewi Thomas dan keluarganya dengan semua tantangan ini? Tonton kesaksian lengkap Dewi Thomas di Solusi Talks dalam youtube channel Solusi TV atau klik video di bawah ini:
Sumber : YouTube Solusi TV