Ayah dari Korban Pelecehan Seksual Anak di Gereja Depok Mengaku Marah dan  Depresi

Nasional / 15 July 2020

Kalangan Sendiri

Ayah dari Korban Pelecehan Seksual Anak di Gereja Depok Mengaku Marah dan Depresi

Puji Astuti Official Writer
4053

Orangtua mana yang tidak hancur hatinya ketika mengetahui bahwa anaknya menjadi korban pelecehan seksual, hal itulah yang dirasakan oleh orangtua salah satu korban pelecehan seksual di Gereja Paroki Santo Herkulanus, Depok. 

Dalam wawancara yang dilakukan oleh Kompas.com pada Minggu (12/7/2020) lalu, ayah korban yang menggunakan nama samaran Guntur tersebut mengungkapkan bahwa dirinya merasa depresi karena kejadian mengerikan yang dialami anaknya itu. 

“Saya kan kerjaannya sopir, dan ketika saya mengirim barang, dan saya teringat kelakuan dia terhadap anak saya, saya teriak di jalan, itu sampai hari ini. Sampai saat ini saya masih mengalami kejadian dan momen seperti itu,” demikian tutur Guntur.

“Tidak mungkin kan, di depan anak saya, saya seperti itu dan di depan keluarga kan saya harus kuat karena saya tiangnya mereka. Tapi kan saya juga manusia, dan ketika saya tidak kuat di luar rumah, ya terjadilah seperti itu,” tambahnya.

Pengakuan sang anak yang menghancurkan hatinya

Anak Guntur yang usianya baru menginjak 13 tahun pada Mei 2020 lalu itu,  mengalami pelecehan seksual sebanyak empat kali oleh pengurus gereja berinisial SPM. Pelaku melakukan aksi kejahatannya pada Januari hingga pertengahan Maret 2020, saat itu SPM menjadi pembina kegiatan misdinar di gereja. 

Kasus ini terungkap saat ada orangtua yang anaknya mengikuti misdinar di-bully oleh pelaku SPM di grup Whatsapp dan akan melaporkannya ke pada Pastor Paroki. Kebetulan keluarga itu dekat dengan keluarga Guntur. Saat akan lapor adalah salah satu anak eks-misdinar yang curiga bahwa anak Guntur mengalami perlakuan tidak baik dari pelaku juga karena SPM terlihat dekat dengan anak Guntur, jadi ia meminta orangtua yang anaknya di-Bully itu untuk menanyakannya kepada Guntur. 

Menanyakan hal sensitif seperti ini kepada anaknya tidak mudah bagi Guntur, untuk mempermudah ia meminta istrinya untuk bertanya secara empat mata dengan sang anak karena ia percaya anaknya lebih dekat dengan ibunya.  

“Pertama, pengakuannya dipegang beberapa kali kemaluannya. Kami sudah syok di situ. Kami diam dulu tidak berani tanya yang lebih panjang,” ungkapnya sedih.

“Sejam lebih, ia ternyata mengaku dioral kemaluannya, oleh pelaku, beberapa kali. Saya stop di situ. Saya tidak berani tanya lagi. Saya takut anak saya down atau bagaimana,” demikian tambahnya. 

Tidak berhenti di sana, esok harinya ada pengakuan baru dari anaknya tentang pelakuan bejat dari tersangka. 

Pengakuan dari pelaku yang membuatnya sangat marah

Setelah melapor ke gereja, pihak gereja memanggil tersangka pada 6 Juni 2020 untuk melakukan klarifikasi. Namun ada fakta mengejutkan saat pihak gereja memfasilitasi untuk melakukan konfrontasi dengan pelaku. 

“Kami komunikasi cukup baik sama anak. Cuma, ada kejadian yang keempat, itu kami tahunya malah dari kesaksian pelaku tanggal 6 Juni 2020 di Ciawi. Itu pertemuan SPM dengan saya dan salah satu saksi yang juga korban. Kami bertemu diatur oleh Pak (Azas) Tigor (Nainggolan, kuasa hukum), Suster Marisa, dan Romo Paroki. Intinya kami waktu itu supaya dia mau klarifikasi. Awalnya, yang diakui oleh anak saya hanya 3 kejadian. Ternyata, ada 4 kejadian, dan kejadian keempat dilakukan pelaku 14-15 Maret 2020,” jelasnya. 

“Iya, saya sempat bertemu dengan pelaku. Itu pertama dan terakhir. Dia ceritakan semua dengan gampang. Dia bilang, kan di situ ada 11 korban dari pengakuan dia. Di situ dia bicara, “si A saya lakukan ini, si B saya lakukan ini, si C saya lakukan ini, sampai akhirnya saya sodomi saya anal,” itu dengan gampang dia bilang,” ungkap Guntur yang menceritakan bagaimana ia sangat marah saat mendengar penuturan pelaku. 

“Aduh itu manusia. Itu rasanya saya, uh rasanya … Aduh, itu kalau saya tidak ingat anak saya, saya tidak tahu deh, saya habisin kali di situ. Tapi saya harus kuat, saya harus tahan emosi. Saya sampai keluar ruangan itu, karena saya ngeri saya pukul dia, saya apain dia, dan akhirnya bisa berbalik ke saya. Coba… Saya sampai keluar, saya masuk kamar mandi, seperti orang gila saya teriak.”

Menurut Guntur, saat itu pelaku tidak menunjukkan penyesalan dan tidak menyatakan permintaan maaf sama sekali. 

Harapannya pelaku dihukum berat

Guntur berharap bahwa pelaku bisa dihukum seberat-beratnya agar tidak jatuh korban lainnya akibat ulah para predator anak. 

“Yang paling penting, jangan sampai ada korban yang di kemudian hari menjadi terhukum seperti pelaku, karena melakukan hal yang sama seperti pelaku. Jangan sampai. Kayak apa itu? Dia korban, kemudian di kemudian hari dia menjadi terhukum karena dia mengikuti apa yang dilakukan oleh pelaku terhadap diri dia. Ini juga menjadi salah satu alasan kenapa saya melaporkan ini, selain juga untuk pembelajaran anak saya. Saya mau dia (SPM) itu dihukum seberat-beratnya. Saya setiap hari, setiap saat, kalau korban bertambah, saya selalu takut korban-korban ini akan jadi seperti dia,” ungkap Guntur. 

Jumlah korban terus bertambah

Hingga saat ini ada 23 anak yang melapor sebagai korban pelecehan seksual dari SPM. Diperkirakan jumlah korban lebih banyak, karena SPM telah melakukan aksinya sejak 2006. 

Pengacara Azas Tigor Nainggolan, kuasa hukum korban mengungkapkan bahwa selain pihak kepolisian yang memproses kasus ini, Komnas HAM juga  ikut mendalami kasus ini setelah ada orangtua korban yang membuat laporan ke Komnas HAM .  

Tidak hanya itu, Tigor juga membuat petisi online yang meminta agar pemerintah turut mendorong penuntasan kasus ini secara maksimal. Menurut Tigor hukuman pelaku pelecehan seksual selama ini terlalu ringan sehingga kasus kejahatan ini meningkat terus. Untuk itu ia meminta pemerintah untuk memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku pelecehan seksual anak di bawah umur. 

Mari berikan dukungan untuk penuntasan kasus ini dan agar perlindungan hukum terhadap anak-anak menjadi  lebih baik lagi. Para orangtua juga harus waspada dan memperlengkapi anak sehingga bisa menghindari kejadian seperti ini, sebab pelaku seringkali adalah orang yang dikenal dan dekat dengan anak dan keluarga, seperti tetangga, guru, anggota keluarga dan bahkan pemimpin agama. 

Baca juga :

Pengurus Gereja Cabuli Anak, Gereja Depok Ini Bantu Atasi Trauma Korban

PBB Desak Vatikan Tangani Pelecehan Anak

Sumber : Kompas.com
Halaman :
1

Ikuti Kami