Perumpamaan Tentang Menanam Benih di Tanah yang Berbatu
Kalangan Sendiri

Perumpamaan Tentang Menanam Benih di Tanah yang Berbatu

Lori Official Writer
      8725

Markus 4: 5-6

Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itupun segera tumbuh, karena tanahnya tipis. Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar.


Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 85; Lukas 6; Yeremia 18-20

Kadang-kadang aku bertanya-tanya kenapa petani dalam perumpamaan Yesus tentang penabur dalam Markus 4: 1-20 membuang begitu banyak benih di tanah yang kurang subur? Di lahan yang berbatu, misalnya, bukanlah tempat yang hanya butuh sedikit batu untuk disingkirkan. Itu adalah lahan dimana tanahnya ditimbun oleh bebatuan.

Menurut kritikus Alkitab, benih-benih itu jatuh justru di lempengan bebatuan saja.

Janji-janji Tuhan, seperti benih itu, juga tampaknya jatuh dalam kondisi yang sama di dalam hatiku saat aku putus asa saat musim panen tiba. Tapi bahkan gunung-gunung berhasil menumbuhkan pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi di atas bebatuan granit saat benihnya harus menghabiskan waktu yang lama untuk menembus bebatuan.

Aku menemukan, bahkan saat hatiku mulai membatu, aku masih bisa tumbuh untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.

Waktu anak-anak kami melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, kondisi finansialku tampak sangat lemah seperti akar yang mencoba bertahan di atas bebatuan besar. Tabungan kami sepertinya tak cukup untuk menjamin kelulusan mereka.

Akupun meyakini firman Tuhan yang bicara soal kesetiaan-Nya sebagai penyedia seperti dalam janji-janji-Nya yang tertulis di 2 Korintus 9: 10-11, Filipi 4: 19 dan banyak lagi. Walaupun kata itu dipenuhi di dalam diriku, tapi kenyataan terus mengancam dan mematahkan kepercayaanku. Biaya kebutuhan untuk keesokan hari selalu membayangi rekening bank kami.

Tentu saja imanku tak cukup besar untuk mempercayai besarnya pengeluaran yang harus kami habiskan. Tapi aku tetap masih hidup dengan mempercayai Tuhan membereskan semua tagihan kami sekaligus dalam sehari. Waktu kekuatiran membuatku gentar, aku menyegarkan diriku dengan mengingat janji Tuhan dan ayat-ayat itu menghibur dan menyemangati hatiku seperti embun yang jatuh ke akar yang kering.

Hari demi hari, aku mulai kagum pad acara Tuhan memenuhi kebutuhan kami. Kadang potongan pajak tiba tepat waktu. Kadang sebuah hadiah sampai di kotak surat kami. Kadang ada kenaikan gaji yang tak terduga.

Sejumlah uang masuk ke rekening bank kami melebihi dari yang kami hasilkan. Jadi aku masih tak yakin bagaimana hal itu bisa terjadi. Tapi tagihan akhirnya terbayarkan dan kedua anak kami lulus tanpa harus berutang.

Sepanjang waktu aku merasa seperti petani di Markus 4: 26-29. Aku tak tahu caranya, tapi tanah itu tampaknya menghasilkan dengan sendirinya, pertama-taman tunas, lalu daun dan kemudian jagung yang sempurna. Satu hal yang aku tahu, seperti dalam imanku bahwa Tuhan akan menyediakan lebih besar dari sebelumnya karena akar imanku butuh waktu untuk tertanam lebih dalam.

Kadang iman kita lemah, seperti akar yang tumbuh di tanah berbatu. Mempertahankan firman-Nya akan membuat pikiran kita menjadi segar, seperti kelembapan yang konsisten, membuatnya tetap hidup.

Bebatuan yang berada di bawah benih bisa menjaga kelembaban yang cukup lama untuk menumbuhkan akar sampai mencapai kekuatannya. Benih akan perlahan mendorong batu sampai mereka tumbuh, menembus dan memecahkan batu. Di bawah tekanan kecil yang terus menerus, batu perlahan-lahan akan hancur dan menjadi tanah yang sangat dibutuhkan oleh akar.

Tuhan menabur benih-Nya dimanapun Dia mau. Sekalipun logika mengatakan benih itu tidak akan tumbuh. Tapi kalau kita memegang kata-kata-Nya dan berpegang teguh pada firman Tuhan, kata-kata itu akhirnya akan menghasilkan panen, kadang-kadang 30, kadang 60 dan kadang 100 kali lipat.


Hak cipta Terry Murphy, digunakan dengan ijin Cbn.com

Ikuti Kami