Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka pembahasan terkait istilah
radikalisme dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (31/10).
Jokowi menilai istilah radikalisme perlu diubah dengan label yang
baru seperti ‘manipulator agama’. Hal ini nantinya bisa mendukung upaya pemerintah dalam mencegah perluasan gerakan radikalisme.
“Atau mungkin, enggak tahu, apakah ada istilah lain yang bisa
digunakan misalnya manipulator agama. Saya serahkan kepada Pak Menko Polhukam untuk mengkoordinasikan masalah ini,” ucap Jokowi.
Menanggapi usulan Jokowi, MUI pun angkat bicara. Lembaga ini menilai
bahwa manipulator agama dan radikalisme adalah
dua hal yang berbeda. Di satu sisi manipulator dianggap sebagai pihak yang tahu
kebenaran lalu memanipulasi kebenaran tersebut. Sementara radikalisme adalah paham
tentang sesuatu yang diyakininya. Karena itu, para pelaku teror bisa adalah orang-orang yang paham dan juga tidak paham agama.
Seseorang bisa saja jadi teroris karena ditipu dana sama
sekali tidak tahu soal agama. Sementara seorang manipulator agama adalah
seseorang yang paham agama tapi menyalahgunakan pemahaman itu untuk melakukan kekerasan
atau teror. Dan terorisme itu belum tentu adalah manipulator agama. Karena itu radikalisme akan lebih pantas jika disebut dengan terorisme.
“Kalau saya langsung menyebut terorisme. Karena kalau radikalisme ada yang positif, meski sekarang banyak diartikan negatif. Bahwa radikalisme itu bukannya radix, tapi memahami agama secara dangkal lalu dia salah dalam memahami agama sehingga menjadi terorisme,” ucap Ketua Komisi Dakwah MUI KH Cholil Nafis.
Baca Juga: Menag Kasih Solusi Kasus Penyegelan Rumah Ibadah, KWI dan PGI Sampaikan Komentar Tegas
Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan
Keamanan Mahfud MD menyampaikan jika gerakan radikalisme sebenarnya tidak berkaitan
dengan kelompok agama tertentu. Tapi gerakan radikalisme itu adalah sekelompok orang yang berusaha untuk mengganti dasar dan ideologi negara dengan melawan aturan.
“Bahkan kebetulan ada Islam karena radikalnya, bukan Islamnya,” kata Mahfud.
Dia menilai bahwa radikal dalam hal ini ditujukan kepada kelompok-kelompok kecil yang mencoba untuk melawan ideologi.
“Siapa yang menuduh umat Islam radikal enggak ada. NU
misalnya, enggak radikal, Muhammadiyah enggak radikal. Itu kelompok-kelompok kecil
yang memang faktanya ada. Itu bukan Islamnya atau tidak Islamnya. Siapapun akan ditindak,” ucapnya.
Pembahasan tentang istilah radikalisme ini memang masih dalam
proses. Namun sebagai informasi pendukung, kita bisa mempelajari secara mendasar apa itu radikalisme.
Kata radikalisme itu sendiri berasal dari bahasa Latin yang
disebut radix yang artinya akar. Istilah radikalisme ini sendiri muncul pertama
kali pada akhir abad ke-18 di Britania Raya. Gerekan ini menyatakan dirinya sebagai
partai kiri jauh yang menentang partai kanan jauh. Sementara gerakan ini banyak
dipraktikkan dalam proses politik di masa itu, khususnya dalam sistem pemilihan
untuk mendukung reformasi parlemen. Tapi dalam praktinya gerakan ini memang
banyak dilakukan dengan cara kekerasan dan ekstrimisme.
Jadi kalau orang Kristen ditanya apakah istilah radikalisme diganti
dengan manipulator agama, kamu setuju gak sih?