Pada bulan Mei lalu, kita dihebohkan dengan isu protes wisata
halal di Labuan Bajo. Protes ini sendiri dilayangkan oleh pemerintah setempat yang meminta pemerintah pusat untuk mencabut penerapan wisata halal di daerahnya.
Meski jadi polemik, pemerintah pusat tampaknya masih berusaha
untuk meyakinkan masyarakat di daerah wisata prioritas untuk selalu menerapkan aturan wisata halal ini.
Sayangnya, masyarakat kembali memprotes penerapan wisata halal
di Danau Toba, Sumatera Utara. Dalam satu aksi, masyarakat beramai-ramai melayangkan
aksi penandatanganan penolakan wisata halal. Aksi ini bahkan ramai beredar di foto dan video warga di Tiga Raja, Kabupaten Simalungun.
Menurut Anggota DPR terpilih dari Dapil Sumut II, Sihar
Sitorus, wisata halal Danau Toba yang disampaikan Gubernur Rahmayadi tidak
menghargai budaya masyarakat setempat, terutama kebiasaan beternak dan mengkonsumsi babi.
Senada dengan protes yang dilontarkan Wakil Gubernur NTT
Josef Nae Soi, Sihar menyampaikan bahwa wisata halal ini hanya akan menjadi dikotomi atau pemisahan dalam masyarakat dan bertentangan dengan nilai Bhineka Tunggal Ika.
“Wisata halal yang dicanangkan oleh pemerintah menciptakan pemisahan
antarumat beragama bahkan suku bangsa. Bukankah Indonesia terdiri dari berbagai
macam suku dan agama namun tetap satu di dalam Indonesia sebagaimana konsep Bhineka
Tunggal Ika yang ditetapkan oleh para pendahulu negeri ini. Jika hal ini
diterapkan tentu akan menciptakan diskriminasi antar satu kelompok dengan kelompok yang lain,” kata Sihar, seperti dikutip Tribunnews.com, Sabtu (31/8).
Seperti diketahui, wisata halal di kawan Danau Toba pertama
kali disampaikan oleh Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Edy Rahmayadi. Tapi
banyak yang menolak wacana tersebut karena hanya akan merusak kearifan lokal masyarakat setempat.
Menanggapi protes ini, Gubernur Edy menyampaikan kalau masyarakat
salah menilai soal wisata halal ini. Dia menegaskan bahwa penerapan wisata
halal sama sekali tidak akan menghilangkan budaya maupun kearifan lokal setempat.
“Ada pihak yang salah menafsirkan, kemudian mendramatisir wisata halal, dan akhirnya menyalahkan. Ini yang menjadi masalah. Masyarakat menjadi salah menanggapinya,” kata Edy.
Baca Juga : Berang Wilayahnya Dijadikan Wisata Halal, Gubernur NTT Ancam Usir Pihak Pendatang
Dia mengatakan bahwa wisata bukan soal agama yang dianut
masyarakat setempat. Tapi bagaimana daerah wisata perlu mempertimbangkan kebutuhan wisatawan yang datang.
“Kita tidak memandang apapun itu agamanya. Tetapi kalau ada
orang Islam datang ke tempat itu, contoh di Bali, ada makanan di situ, rumah
makan halal. Di Thailand yang mayoritas beragama Buddha, tapi di situ ada rumah makan halal,” ucapnya.
Adapun wacana hadirnya wisata halal di Danau Toba ke depan menyusul rencana Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Danau Toba sebagai Bali kedua Indonesia.
Kelayakan ini muncul dari potensi yang dimiliki daerah wisata
ini, seperti kaya akan atraksi budaya, alam, flora dan fauna. Karena itulah dirasa
penting untuk memperhatikan kenyamanan wisatawan yang datang. Seperti adanya restoran, tempat makan halal, toilet umum dan tempat ibadah.
Anggota DPD RI Sumut Parlindungan Purba menyampaikan bahwa konsep
wisata halal yang akan diterapkan di Danau Toba hanyalah cara untuk mempersiapkan daerah tersebut menanggapi kebutuhan wisatawan.
“Jadi intinya adalah kenyamanan. Kita harus buat wisatawan nyaman
berkunjung ke Danau Toba, agar semakin banyak wisatawan yang datang dan
berlama-lama di Danau Toba. Karena itu fasilitas yang dibutuhkan para turis harus tersedia,” ungkapnya.
Jadi, untuk memajukan pariwisata Danau Toba dibutuhkan dukungan
dari berbagai belah pihak, termasuk masyarakat. “Tanpa dukungan masyarakat, upaya
dan program pemerintah untuk menjadikan Danau Toba menjadi destinasi wisata kelas dunia akan sulit terwujud,” tegasnya.
Sampai saat ini, polemik wisata halal ini masih belum menemukan
jalan terang. Di satu sisi masyarakat merasa terancam jika label wisata halal akan
membatasi kebiasaan alami masyarakat selama ini. Namun di sisi lain, pemerintah
menegaskan jika konsep ini tidak mengurangi sedikitpun kearifan lokal masyarakat
yang selama ini sudah ada.
Jadi, kita berharap pemerintah pusat bisa kembali memikirkan solusi
yang tepat untuk mengatasi persoalan ini. Sehingga semua pihak sama-sama diuntungkan.