"Kamu bukan ayahku!".
"Jangan sok menjadi ibuku!"
Apakah kamu pernah mengatakan kalimat-kalimat seperti di atas kepada pasanganmu atau mendengarnya dari pasanganmu?
Tak seorang pun ingin diperlakukan sebagai anak oleh
pasangannya. Hal itu merendahkan dan menyinggung perasaan. Ingatlah bahwa kita adalah orang dewasa dan kita ingin menjadi lebih baik daripada orangtua kita.
Namun,
benarkah demikian? Mungkin bukannya ingin menjadi lebih baik daripada mereka,
kita justru menjadi mereka. Ketika kita semakin tua, semakin mungkin kita
meniru sikap-sikap orangtua kita. Jebakan orangtua seringkali menyelinap masuk ke dalam diri kita dari arah yang lain.
Gak seorang
pun ingin menikah dengan "orangtuanya' bagaimanapun suksesnya ayah atau
ibu kita sebagai orangtua. Tetapi justru terkadang orang yang berkelakuan
seperti orangtua kitalah yang kita nikahi. Seperti halnya seorang pria yang
akhirnya menikahi wanita yang seperti ibunya, atau seorang wanita yang menikahi
seorang pria seperti ayahnya. Atau bahkan kita berharap agar pasangan kita berkelakuan seperti orangtua kita.
Apabila
ayah dari seorang wanita adalah orang yang suka bekerja keras, seorang
pengelola keuangan yang baik, atau sangat sabar, maka ciri-ciri itulah yang
diharapkan oleh istri dari suaminya. Apabila ibu dari seorang pria pintar
memasak atau suka olahraga atau sangat optimis, ciri-ciri itulah yang
diharapkan suami dari istrinya. Kita mengingat setiap sifat positif dari
orangtua kita dan beranggapan pasangan yang baik seharusnya juga mempunyai
sifat-sifat itu. Apabila tidak, kita akan kecewa dan merasa dicurangi atau
ditipu. Dan di saat yang bersamaan, kita juga mengingat semua sifat negatif
dari orangtua kita dan beranggapan pasangan yang baik tidak mempunyai sifat-sifat itu.
Orangtua
merupakan tokoh-tokoh penting dalam hidup kita dan suka atau tidak, kita
senantiasa hidup dalam bayangan mereka. Tentu saja hal itu bukan merupakan suatu hal yang jelek.
Kebanyakan
istri ingin suami mereka melakukan sekurang-kurangnya sama baiknya seperti yang
dilakukan ayah mereka pada bidang-bidang tertentu dan sangat berharap hasilnya
akan lebih baik. Wanita ingin suami mereka sekuat ayah mereka, tetapi juga
sesensitif ibu mereka. Campuran yang menarik ini sulit dicapai oleh kebanyakan pria.
Namun,
sebagaimana ayahnya menetapkan standar minimum dalam hal memenuhi kebutuhan dan
memberi perlindungan, maka hal tersebut diharapkan dapat dipenuhi oleh suaminya untuk membuktikan cinta sang suami kepadanya.
Demikian
juga halnya dengan seorang pria. Apabila istrinya tidak penuh kasih seperti
ibunya, sang suami kerap kali akan melihat istrinya tidak feminim dan menantang
kemaskulinannya. Walaupun begitu, meskipun pria ingin istrinya halus dan lemah
lembut seperti ibunya, ia juga ingin istri mereka kuat seperti ayah mereka dalam menangani tekanan-tekanan hidup tanpa hancur berantakan.
Apabila
seorang wanita kelihatan terlalu kuat, suaminya mungkin melihatnya sebagai
seorang pesaing daripada seorang teman. Pria mungkin tidak selalu mengakui hal
ini, tetapi mereka kerap kali tertarik pada wanita yang dapat mengekspresikan sisi halus mereka. Itulah yang dilakukan oleh seorang ibu.
Kebanyakan
wanita suka dinafkahi dan dilindungi, sementara seorang pria kebanyakan suka
diasuh dan dihibur. Tetapi, tidak ada seorang pasangan pun yang suka
diperlakukan seperti anak-anak oleh pasangan lainnya. Tindakan itu meremehkan
dan tidak menghormati. Kita adalah orang dewasa sehingga kita perlu diperlakukan sebagai orang dewasa, bukan sebagai anak-anak.
Apapun
keluhanmu, ingatlah: menjadi orangtua bagi pasanganmu tidak akan memperkuat
pernikahanmu. Dalam pernikahan yang sehat, para pasangan tetap menjaga peran
mereka. Suami perlu menjadi suami, bukan ayah; istri perlu menjadi istri, bukan ibu.
Apabila
seorang pasangan mulai bertindak sebagai orangtua, pasangan yang lain mungkin memilih salah satu dari strategi pertahanan diri yang tidak sehat berikut ini:
1. Mulai bertengkar
Kamu mungkin
sengaja menciptakan pergulatan kekuasaan yang intens seperti halnya yang kamu lakukan ketika orangtuamu melukai hatimu, biasanya terhadap sesuatu yang sangat bodoh.
2. Membangun tembok
Perasaan
diremehkan dapat menjadi begitu menyakitkan, sehingga kamu menarik diri untuk
menyembuhkannya. Pasanganmu tidak lagi merasa aman dan kamu malah membangun tembok kemarahan.
3. Bertindak seperti kanak-kanak
Kamu berkata
ke diri sendiri bahwa jika dia memperlakukan seperti kanak-kanak, kamu akan memenuhi harapan-harapan suami atau istrimu.
4. Mencari tempat lain
Ketika kamu
merasa tidak dihormati dan dikesampingkan, kamu mungkin tergoda untuk mencari orang lain selain pasanganmu untuk mengisi kekosongan.
Masing-masing hal tersebut di atas sangat berbahaya, dan pada dasarnya bersifat menghancurkan hubunganmu.
Baca Juga :
Suami, Jangan Perlakukan Istrimu Layaknya Seorang Pria!
10 Ayat Alkitab yang Bisa Ubahkan Pernikahanmu
Jebakan
lainnya dari gambaran orangtua kita meliputi keterbukaan kita satu sama lain.
Kadang-kadang kita ngotot ingin mengontrol. Ketika kita masih kanak-kanak,
orangtua yang memegang kendali. Sebagai orang dewasa, kita melawan apa yang
menyerupai kontrol pasangan kita; hal ini banyak mengingatkan kita akan masa lalu. Maka, kita kemudian melakukan dua hal berikut ini:
Susah bagi
kita untuk mendengarkan kebenaran dari pasangan kita sendiri. Dan seringkali
kita justru dapat mendengar kebenaran dari orang lain. Kita tidak mempercayai
dan menentang persepsi atau opini pasangan kita, tetapi kita mendengarkan pikirang yang sama dari seorang teman.
Susah bagi kita untuk menerima pertolongan dari pasangan kita. Tawaran pertolongan dari pasangan kita terasa seperti mengontrol atau mengomentari kemampuan kita. Kita ingin membuktikan bahwa kita dapat melakukannya sendiri. Namun tawaran pertolongan dari seorang teman kelihatan murah hati dan peduli.
Ketika kita
melawan satu sama lain dengan salah satu cara di atas, berarti kita sebenarnya
masih mencoba membuktikan kemerdekaan kita dari orangtua. Kita semua tertarik
pada hal yang sudah familiar. Ada ikatan kemiripan antara orangtua dan pasangan kita.
Orangtua
dapat menakjubkan, tetapi mereka mempunyai peran khusus dalam kehidupan kita. Orangtua
memberikan keteladanan mengenai kedewasaan dan pernikahan yang sehat. Orangtua
menciptakan harapan-harapan mengenai apa yang seharusnya dilakukan setiap
pasangan. Orangtua juga membentuk ketakutan-ketakutan kita mengenai apa yang
tidak sehat dalam pernikahan dan pola-pola negatif yang tentu saja ingin kita hindari.
Namun, satu hal yang harus kita sadari adalah masalah-masalah yang tidak bisa dipecahkan oleh orangtua kita dapat menyelinap juga dalam pernikahan kita.
Maka,
perlakukanlah pasanganmu dengan penuh cinta dan kebaikan. Bagi kaum wanita,
jangan memanjakan atau menjadi ibu bagi suamimu, walaupun dia kelihatannya
sangat menginginkannya. Bagi kaum pria, jangan mengontrol atau memerintah
istrimu; bersikaplah lembut kepadanya, jangan menjadi ayahnya. Perlakukanlah
satu sama lain dengan penuh hormat. Menjadi anak sekali dalam seumur hidup kita
sudah cukup.