Nggak cuma di Indonesia, rasisme juga masih begitu banyak di
Amerika, bahkan diseluruh dunia.
Dikutip dari Crosswalk.com :
1. Pada tahun 1954, tujuh belas negara memutuskan untuk
melakukan pemisahan antara kulit putih dan kulit hitam
di sekolah-sekolah umum (ABW,99)
2. Pada tahun 1956, sekitar 85% dari semua orang yang berkulit
putih di Amerika dari bagian selatan menolak pernyataan bahwa "Siswa kulit putih dan siswa
kulit hitam harus pergi ke sekolah yang sama;"
3. 73% orang Amerika juga mengatakan bahwa harus ada bagian
terpisah antara orang negro di trem dan juga bus.
4. 62% orang Amerika tidak mau
orang negro yang memiliki pendapatan dan pendidikan yang sama dengan
mereka pindah ke lingkungan tempat tinggal
mereka.
5. Pada tahun 1963, sekitar 82% dari semua orang berkulit
putih di Amerika bagian selatan menentang
undang-undang federal yang akan memberikan semua orang,
baik negro dan orang kulit putih, hak untuk
dilayani di tempat-tempat umum, seperti hotel, restoran, dan usaha-usaha serupa. (ABW.139)
Dari statistik di atas adalah bukti tidak adil,
tidak aman, merendahkan, tidak ramah sama sekali bahkan memalukan bagi orang yang berkulit hitam di Amerika.
Pernah nggak sih kamu berhenti sejenak dan bertanya kepada
dirimu sendiri apa arti kran air terpisah dan
toilet terpisah, kecuali kamu adalah penderita
kusta yang najis? Bukankah itu dunia yang begitu mengerikan?
Antara dunia yang mengerikan secara rasial dan juga tak begitu
sempurna secara rasial ini muncullah Martin Luther King.
Kita nggak akan tahu apakah dunia akan berubah jika tanpa dia,
tetapi kita tahu bahwa pada akhirnya Tuhan memakai dia, dan dia menjadi tongkat
Allah.
Martin dipakai Tuhan untuk
mengubah dunia sehingga ekspresi publik yang mengerikan di atas, yang secara
terang-terangan adalah ekspresi rasisme kini
sudah mulai menghilang.
Seorang Marthin Luther King, Jr. memberikan hidupnya untuk
mengubah dunia. Dan menjelang akhir hidupnya,
dia semakin sadar bahwa gerakan yang dia lakukan akan membuatnya
kehilangan nyawanya.
Malam sebelum dia dibunuh oleh James Earl Ray di luar kamar
306 di Lorraine Motel di Memphis pada tanggal 4 April 1968 silam dia sempat berkotbat di Bishop
Charles Mason Temple.
Kotbahnya itu diberi judul “Saya Telah Sampai di
Puncak Gunung, dan bercerita jika diijinkan Tuhan
ia meminta agar bisa hidup beberapa tahun lagi karena ia melihat Tuhan sedang
bekerja di periode abad 20an itu ddimana manusia meresponinya dengan cara yang
aneh. Ia percaya bahwa sesuatu sedang terjadi di masanya itu.
Untuk waktu yang sangat lama, Marthin mampu menggunakan
suaranya untuk menahan kekerasan dan mengatasi kebencian.
Dia juga menutup kotbahnya dengan sebuah nubuatan :
"Kita akan menghadapi hari-hari
yang sulit ke depan. Tapi itu tidak masalah bagiku sekarang, karena aku pernah
ke puncak gunung. Dan aku tidak keberatan. Seperti orang lain, aku ingin
menjalani hidup yang panjang umur. Tapi saya tak kuatir tentang itu sekarang.
Saya hanya ingin melakukan kehendak Tuhan, dan Dia mengizinkan saya naik ke
gunung. Dan saya sudah melihat Tanah Perjanjian-Nya. Aku mungkin tidak bisa
kesana bersamamu. Tetapi aku ingin kamu tahu
malam ini, bahwa kita sebagai umat akan sampai pada Tanah Perjanjian. Dan aku
senang sekali malam ini, aku tak merasa kuatir tentang apapun. Aku tidak takut
pada siapa pun. Mataku sudah melihat kemuliaan kedatangan Tuhan."
Sepuluh jam setelah itu, dia pun mati dan dunia berubah
selamanya.
Pertanyaannya : Sebagai orang Kristen, mampukah kita hidup dan
menjadi dampak serta taat mengerjakan
panggilan kita sampai mati seperti Martin
Luther? Sebuah perenungan untuk mengawali tahun 2019 ini bukan?