Berbeda
benua dan negara, berbeda pula pola pengasuhan anak yang diterapkan. Kalau pola
pengasuhan anak di benua Eropa dan Amerika terbilang cukup moderat, maka tidak dengan negara-negara di Asia.
Salah satu
contoh nyata yang sudah sangat familiar adalah pola pengasuhan anak di dalam
keluarga Tionghoa. Di satu sisi orangtua-orangtua Asia pasti punya kebanggaan
tersendiri karena mendapati pola pengasuhan yang mereka warisi kepada anak selama
berabad-abad membuat keturunan mereka terbilang menjadi orang-orang yang hebat
dan berhasil di berbagai negara-negara besar, sebut saja Amerika dan Eropa. Jadi, tentu saja mereka tak berpikir ada yang salah dengan pola pengasuhan mereka.
Tapi siapa sangka,
tanpa sadar ada 9 cara keliru orangtua Asia membesarkan anak-anak mereka. Di artikel kali ini, kita akan membahas lima diantaranya.
1. Suka memaksakan kehendak kepada anak, khususnya soal memilih profesi yang mereka tak sukai (seperti dokter, pengacara dan pengusaha)
Di
negara-negara seperti India, Tiongkok, Indonesia dan negara lainnya ada
ungkapan familiar soal hal ini. Yaitu kalau anak tidak jadi dokter, pengacara atau pegawai pemerintahan maka anak dianggap gagal oleh orangtuanya.
Ungkapan
inilah yang kemudian membentuk anak-anak Asia menjadikan diri mereka seperti
apa yang orangtua mau. Padahal jika ditelurusi lebih dalam, tak semua anak yang
memilih profesi yang disarankan orangtua mereka benar-benar mencintai pilihan
itu. Akibatnya, mereka hanya hidup mengikuti apa yang orangtua inginkan dan membendung keinginan pribadi untuk menggali potensi lain yang ada dalam diri mereka.
2. Berharap terlalu tinggi kepada anak-anaknya
Banyak anak-anak
sukses karena harapan tinggi yang digantungkan orangtua atas diri mereka.
Mereka diyakinkan bahwa mereka bisa menjadi apapun dan mencapai apapun dalam hidup ini.
Tapi
dibalik kesuksesan itu, ada banyak anak yang hidup dalam beban harapan tinggi
orangtuanya. Akibatnya, anak menjadi lelah dan trauma dengan segala tuntutan dan harapan-harapan itu.
Faktanya,
hanya sebagian kecil saja anak-anak Asia yang secara genetis cukup berbakat untuk
berhasil dalam bidang akademik yang diinginkan orangtua Asia. Bahkan kalau anak
berhasil secara ajaib, mereka pasti akan berakhir dengan masalah psikologis di
masa dewasa mereka. Karena mereka tak pernah merasakan masa-masa kecil yang menyenangkan laiknya anak-anak pada umumnya.
Anak-anak yang
dituntut terlalu banyak oleh orangtua hanya akan mencari lebih banyak uang,
status, atau kesuksesan tetapi tidak pernah merasa bahagia atau puas dengan
pencapaiannya itu. Mereka bisa memiliki harga diri yang rapuh karena mereka ditentukan oleh perkataan orang lain.
3. Pelit menyampaikan pujian kepada anak
Miliarder John
Paul DeJoria dan Sam Walton selalu menyampaikan pujian kepada karyawannya ketika
mereka mencapai kesuksesan dalam pekerjaan mereka. Pujian itu ibarat bunga yang
mekar, saat kita menyiraminya, maka bunga akan tumbuh dan menghasilkan bunga yang indah. Jika kita memotongnya, maka bunga itu akan layu.
Sayangnya, kebanyakan orangtua Asia melakukan hal sebaliknya. Kebanyakan diantaranya begitu pelit memberikan pujian kepada anak-anak mereka. Boro-boro memuji, orangtua Asia cenderung justru kerap mematahkan semangat anak. Bahkan saat anak melakukan hal yang baik dan benar, orangtua cenderung menahan pujian dan malah menuntut anak melakukan hal-hal yang lebih baik lagi.
Baca Juga :
Dekatkan Si Kecil dengan Seni, Ini 3 Alasan Utamanya!
Jangan Sampai Kayak Anak Ini Ya, Sesali Diri Setelah Ayahnya Meninggal
4. Mendisiplin anak terlalu keras
Hal ini
mungkin jadi salah satu cara keliru orangtua Asia dalam membesarkan anak mereka.
Cerita orang-orang
sukses seperti Michael Strahan, Gary Vaynerchuck, Sara Blakely, dan Richard Branson,
soal pola asuh orangtua mereka mungkin bisa membuka pikiran kita. Rata-rata diantaranya
mengaku jika mereka diasuh dengan pola didik orangtua yang sangat positif dan optimis.
Seperti contoh, orangtua Sara yang selalu memberikan pujian setiap kali makan
malam. Bahkan ketika pun dia mengalami kegagalan, tak sekalipun dia mendapatkan kritikan atau dimarahi.
Bandingkan saja
pola asuh ini dengan pola asuh yang diterapkan orangtua Asia pada umumnya. Sangat
sedikit yang kita tahu orangtua yang memberikan pandangan positif dan optimis ketika
anak menghadapi kegagalan. Alih-alih melakukannya, orangtua Asia cenderung menerapkan disiplin yang begitu ketat dalam bentuk hukuman kepada anak.
5. Orangtua tak mengajarkan anak soal pentingnya beristirahat dan pulih dari trauma dan luka
Hal ini
berkaitan dengan poin nomor 4, dimana disiplin ketat orangtua Asia membuat anak-anak
mereka terpacu untuk belajar keras dan menjadi sukses karena takut dengan
hukuman. Mereka akhirnya dengan hati terpaksa harus bekerja keras dan mengabaikan waktu istirahat untuk mewujudkan keinginan orangtua mereka.
Hal ini
membuat anak tak lagi menghargai waktu istirahat yang harusnya mereka nikmati di
masa-masa mudanya. Anak juga berhak untuk menikmati masa bermain dan mengeksplorasi
hal-hal baru yang menarik perhatian mereka. Sayangnya, orangtua Asia lupa akan hal
itu.
Mungkin ada
beberapa hal diantaranya yang kita para orangtua masih suka menerapkannya ke
anak. Nah, kalau kamu merasa setuju untuk mengubah pola asuh ini, mulailah belajar
untuk mengubah pola pengasuhanmu dengan sesuatu yang mendukung pertumbuhan anak
yang lebih baik.