Dukungan terhadap Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual agar segera dibahas oleh
DPR RI terus berdatangan. Kali ini, yang menyampaikan secara
terbuka adalah PERUATI, salah satu organisasi Kristen di Indonesia yang terdiri dari para perempuan berpendidikan teologi.
Ditemui oleh Jawaban.Com
seusai acara Diskusi Publik dengan tema “Konsolidasi dan Pendalaman Substantif
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual”, Ketua PERUATI Pendeta
(pdt.) Ruth Ketsia Wangkai, M.Th mengungkapkan bahwa dukungan pihaknya berikan
karena salah satu fokus dari PERUATI memang terkait kepada permasalahan-permasalahan seksual.
“Kami juga terdorong untuk membangun kekuatan dan jaringan dengan demikian ketika kita membangun jaringan lebih kuat dan mendukung perjuangan dari KOMNAS PEREMPUAN, Forum Pengada Layanan, dan elemen lain, gaungnya dan desakan kepada DPR RI untuk bahas dan sahkan itu kan jadi lebih kuat,” ujar Ruth Ketsia di Grha Oikoumene PGI, Jakarta Pusat, Selasa (4/12/2018).
(Pdt. Ruth Ketsia Wangkai, M.Th sedang membacakan pernyataan sikap PERUATI dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2018 / Sumber: Harian Nasional / Winanti)
Lebih jauh diungkapkan
oleh Ruth Ketsia, visi dan misi PERUATI adalah menjadi rumah dan gerakan
bersama transformasi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan. Oleh karena itu,
pihaknya termasuk yang mengkritik keras kejadian-kejadian kekerasan seksual terutama yang terjadi di dalam institusi gereja.
“Bagi kami itu (kasus kekerasan seksual) bukan hanya urusan aparat hukum, tapi gereja juga harus melihat hal itu sebagai masalah teologis seperti kami rumuskan dalam pernyataan sikap tadi,” imbuh perempuan penyandang gelar S2 teologi ini.
Baca Juga: Kekerasan Seksual di Indonesia Sudah Gawat Darurat, PERUATI Nyatakan Sikap Resmi!
Terkait RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual, Pdt Ruth Ketsia mengatakan bahwa pihaknya berharap DPR RI
segera membahas dan mengesahkannya.
“karena setelah RUU itu
dibahas dan disahkan sebagai undang-undang, itu akan sangat menolong kepada
korban dan hak-haknya, selama itu tidak ada, KUHP tidak bisa mengcover, KUHP hanya bisa memuat satu-dua
pasal saja, tidak spesifik karena itu dalam pemaparan materi kan dibilang bahwa
selama ini ada kasus kekerasan seksual terabaikan dan malah banyak kali korban
disalahkan lagi, jadi terjadi reviktimisasi karena rumusan-rumusan dalam KUHP
belum dapat sepenuhnya melindungi hak-hak korban tetapi kalau RUU Penghapusan
Kekerasan seksual ini diundang-undangkan ada banyak (mengenai) korban dan pemulihan
korban dan juga sanksi bagi pelaku,” pungkasnya.