Sebanyak tujuh belas orang
dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer Mesir atas keterlibatannya pada
tiga serangan gereja pada tahun 2016 dan 2017. Sembilan belas orang lainnya
divonis hukuman penjara seumur hidup, sementara sepuluh terdakwa lainnya dihukum antara 10-15 tahun penjara.
ISIS mengaku bertanggung jawab
atas tiga serangan bom bunuh diri yang menyasar sejumlah gereja pada Desember
dan April. Gereja di seluruh Mesir berkali-kali jadi target serangan yang diakui dilancarkan oleh militan ISIS.
Amnesty Internasional mengungkapkan kalau keputusan hukuman mati ini sangatlah tidak adil.
"Memang benar bahwa pelaku
serangan mengerikan ini harus bertanggung jawab atas kejahatan mereka," ungkap salah satu dari pihak Amnesty.
Amnesty International sendiri
merupakan organisasi non pemerintah internasional yang bertujuan untuk mempromosikan HAM.
"Tetapi menjatuhkan hukuman
mati secara massal setelah pengadilan militer yang tidak adil juga tidak bisa
dikatakan sebagai keadilan dan (hal ini) tidak akan menghalami serangan yang lebih lanjut," lanjutnya.
Amnesty International menjelaskan
kalau merekal yang dituduh untuk melakukan serangan gereja di Mesir harus ‘dicobai
di pengadilan sipil dalam proses yang sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional.’
Sejak tahun 2014, pihak Mesir telah mengirim lebih
dari 15.000 warga sipil ke pengadilan militer, dimana para aktivis mengemukakan tidak memberikan proses perlindungan hukum yang terbatas.
Pada April 2017 lalu, dua ledakan menghantam gereja
di Alexandria dan Tanta, yang menewaskan lebih dari 45 orang. Kemudian pada
beberapa bulan berikutnya, sebuah serangan di dekat Katedral Koptik Mesir menewaskan
sekitar 25 orang.
Sampai sekarang, Mesir masih
melakukan beragam upaya untuk memerangi pemberontak, termasuk ISIS, di Sinai.