Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Riau, Esther Yuliana menyampaikan
catatan buram yang masih dialami sebagian besar anak-anak di Provinsi Riau. Tepat
di Hari Anak Nasional, 23 Juli 2018, ini Esther membeberkan bahwa tingkat
kekerasan terhadap anak-anak di Riau masih sangat tinggi, mulai dari kasus pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga sampai diskriminasi di sejumlah sekolah negeri.
“Kami mencatat masih banyak kasus pelecehan seksual yang
dialami anak-anak. Sejumlah kasus terjadi di Kampar, paling dominan. Ada juga di Pekanbaru dan sejumlah kabupaten lainnya,” kata Esther, seperti dikutip Senuju.com, Senin (23/7).
Dia membeberkan bahwa kebanyakan pelaku kekerasan anak berasal
dari lingkungan keluarga, baik ayah kandung, ayah tiri dan juga keluarga dekat. Hal ini diketahui dari catatan pengaduan yang disampaikan orangtua korban.
Esther mengaku bersyukur karena orangtua korban sudah punya
kesadaran untuk mau melaporkan kejahatan yang menimpa anak mereka. Karena selama
ini banyak orangtua yang justru menutupi kasus yang menimpa anak mereka demi menjaga kehormatan keluarga.
Selain itu, Esther juga menyampaikan catatan yang tak kalah penting untuk diketahui yaitu kasus kekerasan dalam rumah tangga dan penelantaran anak juga masih marak terjadi di Riau. “Biasanya anak menjadi korban ketika terjadi pertengkaran antara ibu dan bapaknya. Kasus penelantaran anak juga ada. kondisi ini anak menjadi korban imbas ketidakharmonisan orangtua mereka,” terangnya.
Baca Juga :
Lindungi Anak, Lembaga Ini Gandeng Gereja Terbesar di Nias Tuk Buat Buku Panduan
Siaran Pers PGI : Gereja Harus Berada di Baris Terdepan Dalam Upaya Perlindungan Anak
Tindakan diskriminasi juga masih massive terjadi di lingkungan
sekolah negeri Riau. Ada banyak anak yang tak mendapat pendidikan formal di sekolah
negeri lantaran nilainya tak memenuhi. Ada juga diskiriminasi dalam hal ketersediaan tenaga guru.
“Memang Islam mayoritas di Riau ini, sehingga guru agama
Islam selalu tersedia di setiap sekolah negeri di SD, SMP sampai SMA. Tapi yang
kita lihat juga tidak adanya guru agama dari agama Kristen, Katolik, Budha, Hindu yang tersedia di sekolah dengan alasan muridnya minim,” kata Esther.
Esther menilai pemerintah seharusnya bisa memenuhi kebutuhan ini
sebagai penunjang pendidikan sama rata bagi anak didik. Bukannya malah membiarkan anak belajar pendidikan agama dari rumah ibadahnya masing-masing.
“Kalau anak-anak di luar Islam, mereka tidak disediakan guru agamanya
di sekolah dengan alasan minim siswa. Sehingga nilai agama mereka nantinya diserahkan
ke gereja, atau ke pura. Padahal guru agama di sekolah itukan hak dari anak-anak juga. Inilah yang kami nilai ada diskriminasi pada anak-anak minoritas,” tandasnya.
Sementara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Yohana Susana Yembise menyampaikan pesan khusus di Hari Anak Nasional ini supaya mata rantai kekerasan terhadap anak harus segera diputuskan.
“Saya minta kalian berjanji, kalau berkeluarga nanti jangan melakukan
kekerasan kepada anak-anak kalian,” ucap Yosana dihadapan peserta Forum Anak Nasional 2018 di Surabaya, Minggu, 22 Juli 2018 kemarin.
Yosana menegaskan bahwa anak mendapat hak perlindungan secara
hukum yang sudah tertulis. Karena itu, kekerasan dalam bentuk apapun jangan lagi
terjadi pada anak. Dia juga meminta supaya semua orangtua berperan sebagai pelopor
dan pelapor dalam memenuhi hak dan perlindungan anak. Anak-anak adalah pewaris kepemimpinan
bangsa di masa depan.
Dan semoga pesan kuat ini bukan hanya sekadar kalimat yang hanya
diingat dalam sehari saja. Sebaliknya, menjadi rhema yan terus menggema setiap saat
sehingga kasus-kasus kekerasan anak yang terjadi di Riau dan di berbagai belahan
daerah di nusantara tak lagi menghantui anak-anak kita.