Siang itu Wendy datang untuk
menemui Tita. Tita baru saja putus dengan pacarnya dengan alasan tidak kuat
kalau harus berada pada hubungan jarak jauh. Awalnya Wendy hanya berniat untuk
menghibur Tita yang sedang gundah gulana, tetapi lama-lama Wendy justru mencetuskan
sebuah nasihat, "Udah, Ta. Kalau yang udah ya udah. Kamu nggak boleh
hubungi dia lagi. Udah pokoknya kamu block nomer dia, lepasin setiap hal-hal yang berbau dia dari hidup kamu dan mulai untuk menata hidup yang baru."
Tita hanya menanggapinya dengan senyum,
kemudian berkata, "Iya, aku coba ya, Wen." Di jalan pulang Wendy
berpikir, dirinya aja masih belum bisa move
on dari mantannya. Boro-boro bisa melepaskan semua yang berbau mantannya,
setiap malam aja kerjaannya cuma stalkingin akun media sosial si mantan.
Pernah nggak sih kita berada pada
posisi kayak Wendy? Saat bisa memberikan sebuah saran yang sebenarnya kita
sendiri belum tentu bisa melakukannya. Mudah banget rasanya buat memberi orang
lain nasihat, sementara kita kasih diri sendiri ribuan alasan saat mencoba
untuk menerapkan nasihat itu sendiri. Hal ini manusiawi sekali, kok. Bahkan ada salah satu studi yang secara khusus meneliti sikap kita seperti ini.
Solomon’s Paradox
Salah satu ilmuan bernama Igor
Gorssmann dari University of Waterloo menyebut sikap ini sebagai Solomon's
Paradox atau paradox salomo. Seperti yang kita ketahui, Raja Salomo merupakan raja ketiga bangsa
Israel. Di Alkitab kita bisa menemukan kalau Raja Salomo sangat dikenal dengan kebijaksanaannya dalam memberikan nasihat bagi orang lain.
Bahkan selama pemerintahannya, ada banyak orang
yang datang dari jauh hanya untuk mendapatkan hikmat dari Salomo. Seperti
dituliskan dalam I Raja-raja 4:29-30, 34, “Dan Allah memberikan kepada Salomo
hikmat dan pengertian yang amat besar, serta akal yang luas seperti dataran
pasir di tepi laut, sehingga hikmat Salomo melebihi hikmat segala bani Timur
dan melebihi segala hikmat orang Mesir…….Maka datanglah orang dari segala
bangsa mendengarkan hikmat Salomo, dan ia menerima upeti dari semua raja-raja di bumi, yang telah mendengar tentang hikmatnya itu.”
Sayangnya, Raja Salomo adalah salah satu orang
yang awalnya berapi-api bagi Tuhan, kemudian berubah jadi suam-suam kuku.
Inilah yang kemudian menjadikan kerajaannya hancur karena kegagalan dalam mengatur kehidupannya sendiri.
Penelitian Gorssman
Dari sini, Gorssman menamakan situasi ini di
mana kita bisa memikirkan masalah orang lain dengan bijak, namun tidak bisa
bersikap demikian ketika berhadapan dengan masalahan kita sendiri. Sikap inilah yang dinamakan sebagai Paradox Salomo.
Kalau sikap ini sangat manusiawi, maka bagaimana cara kita mengatasinya?
Gorssmann sendiri mencetuskan sebuah metode
yang dinamakan The Best Friend Method, dimana kita harus bisa memberi jarak
antara kita dan masalah yang sedang dihadapi untuk melihat atau menganalisisnya dari sudut pandang orang luar.
Penelitiannya ini membuat kita menempatkan diri
sendiri sebagai orang ketiga, misalnya dia atau mereka. Hasilnya, kita bisa
belajar kalau terkadang pendapat atau saran orang lain itu perlu, sehingga kita
bisa melihat masalah secara objektif.
Hal lainnya adalah cara ini membuat kita juga
bisa menjadi perenungan pribadi untuk memperhatikan setiap nasihat yang akan
kita sampaikan kepada orang lain. Sebab bisa jadi nasihat yang kita lontarkan
tersebut sebenarnya sangat relevan dengan masalah yang sedang kita hadapi.