Sebagai makhluk sosial, manusia
sering kali menilai seseorang berdasarkan apa yang ada di pikirannya. Terkadang
disimpan di dalam hati, mungkin juga disampaikan kepada teman yang lain.
Penilaian tersebut bisa mengenai kebiasaannya, penampilannya, caranya berpendapat, atau hal lain yang bahkan tidak bisa disebutkan satu per satu.
Lama kelamaan, hal ini menjadi sebuah
kebiasaan. Penilaian berpotensi
menjadikan kita menghakimi orang tersebut. Bukankah sebagai seorang percaya
kita tidak diperkenankan untuk menghakimi orang lain? Dilansir dari
Huffingtonpost, menghakimi orang lain bisa menjadi sebuah candu. Empat alasan dibawah ini adalah pertimbangannya.
1. Menghakimi orang lain memberikan efek mabuk
Seperti orang yang baru saja
meminum alkohol, menghakimi bisa membuat kita kehilangan kesadaran diri.
Akibatnya, kita kehilangan gambaran diri kita sebagai manusia yang penuh kasih.
Sesaat setelah kita merasa bersalah karena telah melakukannya, kita akan
menghindari perasaan tersebut, sehingga keinginan untuk menghakimi orang lain
tersebut akan ada dalam hati kita.
2. Menghakimi membuat kita terisolasi
Kecanduan ini akan terus berkembang karena kita
mencoba untuk menyembuhkan kepahitan yang pernah ada pada masa lalu. Baik
kepahitan saat ada seseorang yang ragu dengan kemampuan kita, merasa kalau kita
adalah orang gagal, atau trauma lain yang membuat kita selalu merasa sendirian.
Agar tidak merasakan kepahitan tersebut, kita
mengarahkannya kepada orang lain dengan menunjukkan kekurangannya. Kepahitan
tersebut membuat kita menyerang orang lain, sekaligus menghadirkan kembali trauma masa lalu yang hanya akan membuat kita semakin kesepian.
3. Menghakimi mencegah kita dari pemulihan
Ketika kita mengatakan ingin menjadi pengikut
Kristus, kita harus rela memikul salib Kristus. Itu adalah salah satu pelajaran
yang kita sering dapat. Iya, untuk melihat sebuah cahaya, kita harus rela masuk
kedalam kegelapan. Inilah kenapa untuk bisa terbebas dari kebiasaan menghakimi
orang lain, kita diminta untuk menerima kebenaran yang ada di dalam diri kita sendiri tanpa menyalahkannya.
Penghakiman timbul dari pribadi yang belum bisa
menerima kasih, baik dari Tuhan maupun sesama. Untuk menghentikannya, kita
harus menumbuhkan kasih kepada Tuhan dan diri sendiri. Langkah kedua yang bisa
kita lakukan adalah menghargai dan menerima kalau luka tersebut adalah bagian dari hidup kita yang akan membuat kehidupan kita menjadi lebih baik lagi.
Ketika keinginan untuk menghakimi timbul, cobalah tanyakan pada diri sendiri apa momen masa lalu yang memicu kita untuk mendorong kita melakukan penghakiman. Ketika kita sudah bisa menyingkap kebenaran dari dalam diri kita tersebut, maka pemulihan akan terjadi. Ketika melakukannya, libatkan Roh Kudus agar kita bisa terlepas dari kebiasaan ini.
Baca juga: Plus Minusnya Pacaran Lama Itu Apa Aja Sih? Inilah Kata Teman-Teman Jawaban!
4. Menghakimi membuat kita semakin lemah
Orang lain mungkin menganggap kalau dengan
menghakimi, mereka akan merasa nyaman, damai maupun dapat memiliki perasaan
yang lebih baik. Tetapi satu hal yang perlu kita ingat kalau kebencian hanya akan menimbulkan kebencian yang lain.
Daripada kita melakukan penilaian yang bersifat
menghakimi, kenapa tidak mencoba untuk mengasihi mereka dengan kata-kata
positif? Hal ini tidak hanya akan menimbulkan efek yang baik bagi orang lain,
namun juga bagi diri kita sendiri.
Saat kita melepaskan kebiasaan menghakimi orang
lain atau sesuatu hal, artinya kita memberikan ruang untuk Roh Kudus menjadi
bagian dari tubuh kita. Hal ini membuat kita terus menyadari adanya kebenaran
yang ada disekitar kita. Tidak seperti orang mabuk yang kehilangan diri sendiri
dan selalu menginginkan lebih dan lebih lagi.