Generasi milenial masih menjadi
topik yang nggak boleh dilewatkan. Mulai dari pendidikan, budaya, terutama
teknologi. Sebagai salah satugenerasi milenial, yang lahir pada tahun
1980-2000an, kita lahir saat TV sudah mulai berwarna, internet sudah mulai diperkenalkan.
Apakah hal ini menjadi berita yang baik?
Dengan kemampuan kita di dunia
teknologi, dengan semua sarana yang sudah banyak tersedia, generasi milenial
belum banyak sadar akan kesempatan dan peluang yang ada di depan kita. Malahan,
generasi ini cenderung tidak peduli terhadap keadaan sosial di sekitar, baik
dari segi ekonomi atau
politik.
Dampak buruk teknologi
Salah satu dampak buruk dari kecepatan
teknologi yang diterima oleh generasi milenial, seseorang seakan-akan harus
memperlihatkan status sosialnya melalui jejaring sosial. Sebut saja facebook
atau Instagram. Bukankah kita cenderung memperlihatkan gaya hidup mewah atau
kesenangan-kesenangan saja?
Hal ini yang kemudian menimbulkan satu masalah,
yaitu gengsi. Gengsi membawa seseorang terinspirasi untuk membeli handphone
baru hanya karena temannya membeli handphone baru juga. Sebagai makhluk sosial,
hal ini adalah reaksi yang wajar. Tetapi, kita juga perlu mempertimbangkan apa
yang akan terjadi jika terus mempertahankan gengsi dalam diri kita ini.
Gengsi itu apa sih?
Gengsi merupakan bagaimana pandangan orang lain mengenai diri kita sendiri. Biasanya, sikap gengsi diasosiasikan dengan harta atau pekerjaan tertentu. Akhir bulan sudah tiba, teman mengajak ke sebuah cafe mahal, karena kita gengsi untuk mengatakan 'duh, akhir bulan bokek nih,' kita jadi terpaksa membongkar celengan yang seharusnya dijadikan dana darurat.
Baca juga: Tuhan Mau Kita Memeliharanya, Bukan Memusnahkannya. Apakah Itu?
Apakah gengsi itu
selalu buruk?
Gengsi membuat kita berbohong pada diri sendiri
dengan mengikuti lingkungan sekitar. Bukankah kita ini hidup untuk menyenangkan
Tuhan? Tujuan ini seharusnya mencegah kita dari sikap gengsi yang cenderung
melakukan sesuatu demi kesenangan orang lain.
Biasanya, untuk diterima pada sebuah lingkungan
tertentu, kita harus rela untuk menjadi seseorang yang bukan diri sendiri.
Seharusnya kita menyadari kalau kita adalah makhluk yang berharga di mata
Tuhan, bukan semata-mata agar menjadi berharga di mata orang lain, kita rela
menjadi orang lain.
Pandangan Alkitab
mengenai gengsi
Alkitab menyatakan kita untuk berpikir mengenai gambaran diri dengan benar. Yesus Kristus merupakan standar dan tujuan kita, bukan manusia. Jadi, sikap gengsi adalah satu hal yang harus kita hilangkan. Agar kita bisa fokus kepada apa yang dikehendaki oleh Tuhan.
Tidak hanya dalam gaya hidup, sikap gengsi juga
terkadang menjauhkan kita dari sesama. Misalnya gengsi untuk meminta maaf atas
kesalahan yang kita lakukan. Padahal, Tuhan mau kita untuk segera minta maaf
dengan tulus saat melakukan kesalahan.
Dalam Amsal 16:18, ”Kecongkakan mendahului
kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.” Sikap gengsi yang kita
miliki membuat kita tinggi hati, membohongi diri sendiri, dan menjauhkan kita
dari sesama kita.
Karena itu, mari kita berhenti untuk bersikap
gengsi dengan tidak memikirkan apa yang akan orang lain pikirkan terhadap kita.
Jika kita sudah bertindak sesuai dengan kebenaran firman Tuhan, maka, apa yang
perlu dikhawatirkan?