Maria Agnes masih belum juga pulih dari duka kehilangan putra semata wayangnya Hillarius Christian Event Raharjo, siswa kelas X Sekolah Menengah Atas (SMA) Budi Mulia, Bogor. Hillarius menghembuskan nafas terakhirnya setelah terlibat pertarungan ala gladiator satu lawan satu dengan siswa dari sekolah SMA Mardi Yuana pada 29 Januari 2016 silam.
Sumber : Kompas.com/Ibu dan Ayah Hillarius, Maria Agnes dan Vanansius
Meskipun peristiwa
itu sudah berlalu sekitar 1.5 tahun lalu, Maria Agnes merasa perlu menegakkan
keadilan atas apa yang dialami mendiang putranya itu. Lewat sebuah tulisan,
Maria pun menceritakan kronologi kejadian tewasnya Hillarius kepada Presiden Jokowi pada 12 September 2017 lalu.
Di dalam
surat itu, Maria menuliskan aduannya soal kekerasan yang merenggut nyawa anaknya.
Sejak peristiwa menyedihkan itu, Maria mengaku tersiksa atas kehilangannya. Itu
sebabnya dia ingin keadilan ditegakkan atas pelaku kekerasan terhadap putranya itu.
“HILARIUS di adu spt binatang di arena sorai sorai
anak MY (Mardi Yuana) dan BM (Budi Mulia)...meninggal sebentar krn dlm kondisi
jatuh di tarik kakinya di injak ulu hati nya...jantung nya di injak...mata memutih...,” demikian kutipan dari tulisan Maria.
Maria memprotes
pelakunya yang tak kunjung diproses secara hukum. Karena itulah dia mengaku pasrah jika pihak berwenang melakukan proses autopsi terhadap jasad korban.
Pernyataan yang
disampaikan Maria ini diakui didapatkan dari pengakuan puluhan siswa yang hadir
saat peristiwa itu terjadi. Menurut saksi mata, Hillarius mendapat pukulan di
bagian kepala sebanyak 6 kali. Saat anak remaja ini menyerah mundur, Ketua Osis
Budi Mulia yang waktu itu menjabat malah menendang pinggang Hillarius sampai dia jatuh terkapar dan tewas ditempat.
“Bpk Presiden...sy memohon Pak...spy ada penyempurnan
peraturan hukum utk kekerasan yg mengakibatkan tunas bangsa harapan negara dan
orang tua nya....nyawa nya hilang tanpa belas kasih...biar mereka pembunuhnya
masih di bawah umur...tapi akibatnya tetap sama....hilang nyawa org lain....Sy sedih dan hancur Bpk Presiden...Mohon Bpk membantu sy utk solusi keadilan....,”demikian isi permohonannya kepada Presiden Jokowi.
Sumber: Pojok Satu/Hillarius & seorang teman sekolahnya
Menyikapi kekerasan di dunia pendidikan
Kasus kematian
Hillarius adalah salah satu dari sekian banyak tindakan kekerasan yang terjadi di
lembaga pendidikan di Indonesia. Ada banyak anak muda yang mati sia-sia karena tindakan
tak bertanggung jawab teman sekolahnya. Kejadian meninggalnya siswa di STPDN, Universitas
Islam Indonesia, serta STIP Merunda di beberapa waktu silam adalah kenyataan pahit yang harus dikupas tuntas oleh pemerintah kita.
Lembaga pendidikan yang harusnya jadi tempat untuk menempah generasi muda jadi pribadi yang cerdas dan siap menimpin bangsa ini seakan kehilangan tujuannya. Hal ini terjadi sejak tindakan kekerasan fisik yang menjatuhkan korban jiwa menghiasi sejumlah lembaga pendidikan. Ini bukan lagi hal yang normal tentunya.
Apa langkah konkrit yang harus dilakukan untuk memutus siklus kekerasan di dunia pendidikan ini?
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) secara tegas mengatakan bahwa perlindungan pada
anak sudah diatur dalam Undang-Undang yang sah. Sebagaimana disebutkan dalam UU No. 35 Tahun
2014 atas perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 9
ayat 1 secara tegas menyatakan (a), “setiap Anak berhak mendapatkan
perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang
dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”.
Sementara
pasal 54 menegaskan bahwa “anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan
wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan
seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”.
Dua UU ini tentunya
harus diketahui oleh semua pihak, baik pendidik, anak didik dan juga orang tua.
Tentunya kasus yang dialami Hillarius tak seharusnya terjadi kalau dunia pendidikan benar-benar tegas menginformasikan hal ini kepada seluruh pelaku di dunia pendidikan.
Selain menegaskan
soal langkah hukum perlindungan anak, cara ini juga bisa mencegah dan menghindari anak dari tindakan kekerasan di lingkungan sekolah:
1. Dari Pemerintah: Supaya lembaga pendidikan kembali
menggalakkan sistem pembentukan karakter, moral secara spiritual dan bertingkah
laku. Hal ini secara nyata sudah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo. Tentunya
untuk mewujudkan sistem yang baru ini diperlukan kerja sama yang baik antara pemerintah dan juga seluruh pendidik.
2. Dari Segi Guru atau Pendidik: Untuk mencegah
kekerasan yang menyebabkan jatuhnya korban dikalangan anak didik, guru atau
pendidik perlu dengan tegas mengajarkan siswa/siswi nya soal bagaimana mereka harus
berperilaku, bergaul dengan sesama, berlaku sopan serta berperilaku positif. Dalam
hal ini, pendidika bukan hanya sekadar membuat siswanya cerdas secara ilmu tapi juga membentuk karakter anak didik yang bermoralitas tinggi.
“Siswa juga
harus diberi pemahaman bahwa jika mereka melakukan perbuatan melanggar hukum,
mereka akan mendapatkan dampaknya, baik dampak hukum maupun sosial,” ucap Elvira Zeyn, seorang anggota Gerakan Masyarakat Peduli Pendidikan.
3. Dari Orangtua : Masih banyak orangtua yang menganggap
kalau kegiatan MOS sekolah yang diadakan oleh kakak kelas setiap kali tahun
ajaran baru atau kegiatan-kegiatan pecinta alam sekolah/kampus adalah sebuah tradisi
yang biasa saja. Padahal tak jarang kekerasan fisik pun terjadi di sana. Inilah
saatnya orangtua mulai mengingatkan anak untuk lebih berhati-hati memilih kegiatan sekolah yang dinilai tidak resmi.
Selain itu orang juga berkewajiban untuk melakukan beberapa hal ini:
Tentunya besar
harapan kita supaya tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah ini tak
lagi berulang. Biarlah kasus-kasus yang menimpa Hillarius dan korban-korban lainnya
tak menimpa generasi muda kita yang lainnya.