Seorang
anak mengaku sangat terbuka kepada kedua orang tuanya soal hubungan asmara yang
dijalaninya. Dia merasa orang tuanya adalah contoh pasangan teladan karena tetap
hidup bahagia setelah menikah selama 25 tahun. Sang anak pun ingin sekali mengalami hal yang sama di kehidupannya kelak.
Tanpa
ragu-ragu sang anakpun mulai melontarkan pertanyaan kepada sang ibu. “Jadi aku bertanya
kepada ibu: “Bu, apakah kamu sekarang lebih bahagia dibanding dengan waktu pertama kali kalian menikah? Atau apakah ibu lebih bahagia sekarang?”
Lalu sang
ibu menjawab dengan penuh pertimbangan sembari menghela napas panjang. “Kau
tahu, pernikahan itu seperti sungai. Saat pertama kali hal itu berjalan,
hubungan itu terasa begitu rumit. Ada begitu banyak bebatuan dan turbulensi. Kita
harus memegang erat arung yang membentang. Tapi hal itu sangat menarik,” terangnya sembari menghembuskan nafas kembali dan diam sejenak.
“Saat awal
pernikahanku dengan ayahmu, aku suka sekali dengan segala petualangan baru ini.
Ada begitu banyak penemuan. Ttetapi karena kamu tetap harus menyusuri sungai, kita
semakin masuk lebih dalam, dan arus mengalir lebih lancar dan lebih kuat. Aku harus
bilang kalau aku sangat menyukai pernikahanku sekarang jauh dimana aku sudah berlayar ke tempat yang lebih dalam.”
Dengan segala
kejujurannya, sang ibu mengaku menikmati perjalanan rumah tangga yang sudah dilaluinya
itu. Semakin lama pernikahan berlangsung semakin besar pula tantangan yang akan
dihadapi oleh pasangan menikah. Tapi untuk bisa melewati semua rintangan itu, kedua belah pihak harusnya tidak mudah menyerah.
Banyak pasangan
yang mungkin mudah menyerah saat menghadapi saat-saat sulit, tapi saat mereka sama-sama
memegang komitmen untuk membangun rumah tangga, maka rasa cinta dan pengertian diantara
keduanya akan semakin besar. Pernikahan adalah guru yang paling baik dalam
mengajarkan kita tentang mengenali diri sendiri.
Sebagai
orang Kristen, kita tentu tahu soal janji suci yang paling terkenal saat sepasang
suami istri dipersatukan dalam pernikahan suci, bahwa ‘suami dan istri harus
saling mendukung dalam suka maupun duka, dalam bahagia maupun sedih, dan dalam
sehat ataupun sakit’. Komitmen inilah yang membuat sebuah pernikahan berhasil dan
bahagia. Sebagai ayat penutup mari merenungkan kembali ayat ini: “"Hai isteri, tunduklah kepada suamimu
seperti kepada Tuhan karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus
adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Hai suami, kasihilah
isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan
diri-Nya baginya..." (Efesus 5: 22-23; 25)