Membaca Alkitab memang adalah satu kebiasaan wajib yang harus dihidupi
orang-orang percaya, terutama para pendeta, penatua gereja, dan juga rohaniawan
lainnya. Tapi menurut Ketua Sinode GMIT, Pdt Merry Kolimon, membaca Alkitab dan
menyampaikan khotbah kepada jemaat memang penting tapi bukan berarti mereka hanya
mengurusi urusan spiritual. Menurut Pdt Merry, para rohaniawan juga perlu ambil
bagian dalam urusan-urusan menyangkut isu sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, gender dan sebagainya.
Dia meminta supaya pelayan gereja bisa peka terhadap persoalan umat
dan bisa memberikan jalan keluar untuk menolong mereka dari kondisi yang sedang
dihadapi. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan ambil bagian dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Hal ini disampaikan Pdt Merry saat dirinya hadir dalam kegiatan media
trip yang digelar oleh Oxfam di kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Rabu (22/2).
Pdt. Merry meminta supaya setiap rohaniawan bisa membaca Alkitab
dengan kacamata baru, yaitu kacamata keadilan dan kesetaraan gender. “Membaca
alkitab dengan kacamata baru bahwa berita pembacaan alkitab tentang pembebasan
keselamatan yakni saling menghargai antara perempuan dan laki-laki. Hal ini
menjadi tantangan kami, bagaimana membuka ruang hermonitis, menggugat cara
tafsir yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ungkapnya, seperti dilansir Tribunnews.com.
Sebagai contoh, Pdt Merry menyampaikan soal kasus kekerasan yang
dialami kaum wanita di NTT. Budaya NTT mengharuskan para istri yang menerima kekerasan
dari pasangan tidak boleh melaporkan hal tersebut kepada orang lain, karena dianggap
hanya merusak harga diri keluarga. Sehingga mereka hanya bisa diam meskipun sudah mendapat kekerasan secara fisik.
Namun seiring berjalannya waktu, keadilan gender di masyarakat NTT
sudah mulai membaik. Salah satunya adalah ketika dirinya dipercayakan sebagai ketua
sinode perempuan pertama di NTT. Kesempatan inilah yang dipakai Pdt Merry sebagai jalan untuk menerapkan kepemimpinan feminis.
“Kepemimpinan feminis adalah kepemimpinan partisipatif yang
tekun memelihara komitmen untuk egaliter equaliti dalam gereja, karena itu
harus bersedia terhadap outo kritik. Saya bukan malaikat, saya butuh juga
kritik konstruktif dan positif bagi kemajuan kita," kata Pdt. Merry.
Dia menambahkan, kepemimpinan perempuan memang tidak menjamin terwujudnya
keadilan dan kemanusiaan terhadap perempuan dan anak secara menyeluruh. Tapi gereja
punya komitmen untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan dan keadilan gender.