Perkataan berkuasa
mendatangkan berkat maupun kutuk. Perkataan yang positif akan memberikan dampak
positif pula bagi diri kita ataupun orang lain. Dan sebaliknya perkataan yang buruk
hanya akan menimbulkan dampak negatif bagi diri sendiri maupun orang lain. Karena
perkataan yang buruk inilah seorang Endi kecil tumbuh dengan kebencian yang berakar dan memilih untuk menjadi seperti apa yang diucapkan kepadanya.
Endi Jadi Anak Nakal
Saat duduk
dibangku sekolah dasar (SD), Endi kecil kerap dimarahi oleh gurunya. Setiap
kali ada kejadian atau perkelahian di antara siswa, Endi kerap dijadikan kambing
hitam. Karena selalu dianggap berulah, sang guru memberinya julukan ‘si anak nakal’.
“Sekali nakal tetap nakal,” demikian ucapan yang pernah dilontarkan sang guru
kepada Endi. Kata-kata inilah yang akhirnya membuat gambar diri Endi kecil hilang. ‘si anak nakal’ menjadi julukan yang disematkan kepadanya di sekolah.
“Di samping
sekolah saya itu ada kayak hutan, ada pohon. Jadi di situ saya bikin komitmen: Saya
mulai hari nakal aja! Karena saya sudah diem,
masih dibilang nakal. Di situ saya berkomitmen menjadi anak nakal,” ungkap Endi saat menyampaikan kesaksian hidupnya kepada Gang Senggol Show.
Kebencian Endi
kecil terus tumbuh. Saat beranjak dewasa, Endi bergabung dengan kelompok Debt Collector. Di sana dia diupah untuk menghabisi nyawa orang-orang yang menolak membayar utang kepada sang bos.
“Saya
bergabung di Debt Collector. Pikiran
saya, ‘Wah, sekali bacok lima juta’. Sepuluh bacok wah, langsung ‘saya berangkat’. Saya bilang gitu,” terangnya.
Perkelahian
demi perkelahian sudah jadi hal biasa bagi Endi. Berkali-kali pula dia mengalami
kekalahan dan terluka oleh senjata tajam. Namun tetap saja rasa sakit yang dia alami tidak membuatnya jera.
Endi Hampir Membakar Ibunya Sendiri
Suatu kali,
Endi mencoba menghabisi nyawa seorang pria. Tanpa berpikir panjang dan seolah kehilangan
hati nurani, dengan bengisnya membacok pria tersebut berulang kali. Dia bahkan tak
segan-segan hendak memenggal kepala laki-laki tersebut. Sesaat akan
melakukannya, sirine polisi tiba-tiba terdengar. Bersama rekan-rekannya dia lari meninggalkan lokasi kejadian dimana korbannya sudah terkulai tak lagi berdaya.
Kejadian itulah
yang kemudian menyeret Endi masuk ke sel penjara. Namun tak lama dari itu, Endi kembali bebas.
Entah apa yang
sedang menguasai pikiran Endi saat itu. Sang ibu yang mendengar kabar perkelahian
Endi lalu mulai menasihati anaknya agar bertobat dan mencari Tuhan. Dia tidak ingin
Endi terus menerus melakukan kejahatan seperti itu. Mendengar ocehan tersebut, Endi segera mengambil minyak, menyirami sang ibu dan siap untuk membakarnya.
“Karena (mami)
ngomong terus tentang Tuhan Yesus, saya jengkel. Dalam pikiran itu langsung ‘bakar’
gitu. Ambil minyak, trus mami saya sirat minyak. Mami saya cuma (bilang) ‘Tuhan Yesus. Tolong Tuhan Yesus.’” Terangnya.
Tuhan sepertinya
mendengar seruan sang ibu yang meminta tolong. Tuhan seakan membatalkan niat jahat
Endi dan membuat korek yang sudah ada ditangan dan siap dinyalakan pada saat itu justru tak kunjung menyala.
“Saya lari.
Saya lari. Tapi pada waktu Tuha Yesus sudah mnegetok (pintu hati saya). Roh Kudus itu,” kenangnya.
Peristiwa itu
membawa Endi pada satu titik kehidupan yang begitu putus asa. Rasa kalut, penyesalan
dan putus asa bercampur menjadi satu. Perasaan-perasaan
it uterus berbicara dan membuatnya semakin bimbang. Di tengah kebimbangan itulah Tuhan mulai menyatakan dirinya kepada Endi.
“Sangat keras
sekali. “Siapa Engkau?” Saya bilang begitu. “Tunjukkan siapa Engkau?”, saya bilang
kedua kali. “Akulah Tuhan Allahmu”. Ketiga kali, “Siapa Engkau?” “Akulah Tuhan Allahmu.
Yesus Kristus.” Langsung saya nangis. Ada suatu tangan, langsung saya dipeluk. Saya
(mencoba) melek waktu itu nggak bisa. Saya dipeluk, yaitu ada suara (berkata) begitu: Sudah sejak lama Aku ingin memeluk engkau.”
Di tengah pertobatan
yang dia alami, hati Endi dipenuhi dengan belas kasihan dan pengampunan. Dia melepaskan
pengampunan kepada orang-orang yang dia lukai. Luka kebencian yang lama terhadap
sang guru pun akhirnya tersingkap. Dengan penuh tangisan, Endi melepaskan pengampunan penuh kepada sang guru dan segala perlakuannya di masa lalu.
“Jadi kalau
kita sudah hidup dalam Tuhan, dan kita percaya bahwa hidup kita sudah
dirancangkan, sudah ditentukan bagi garis jalan ini kita mengucap syukur aja,”
tandas Endi.
Dari
pengakuan teman-temannya, Endi yang sekarang ini adalah Endi yang sudah berubah.
Seorang Endi yang percaya kepada Tuhan dan menjalani kehidupan sesuai dengan apa
yang dirancangkan Tuhan. Dia bukan lagi Endi kecil yang dikatai-katai ‘si anak nakal’,
karena dia tidak ingin percaya lagi dengan segala ucapan negatif itu, yang
hanya membuatnya kehilangan rancangan Tuhan yang indah atas dia.