Pemerintah Kenya telah mengumumkan rencana untuk menutup
kamp-kamp pengungsi dan lembaga kemanusiaan Kristen dari Amerika memperingatkan
bahwa keputusan itu mematikan.
Hampir 600.000 pengungsi tinggal di kamp-kamp yang berada di
Kenya tersebut, dengan lebih dari setengahnya berada di kamp Dadaab yang ada di
dekat perbatasan dengan Somalia.
Kementerian Dalam Negeri Kenya telah menyatakan akan
mengirim sekitar 330.000 pengungsi di
Dadaab kembali ke Somalia karena kamp tersebut dianggap menjadi tempat
persembunyian teroris, demikian berita yang dirilis oleh Guardian.
Berita itu tidak hanya mengejutkan bagi pengungsi tetapi
juga bagi sebuah organisasi non-profit
bernama World Help, yang saat ini menyerukan agar ada intervensi internasional.
"Hal ini adalah kejutan besar dan memprihatinkan saat
kami tahu keputusan Kenya untuk menutup kamp-kamp pengungsi ini, dan pada gilirannya, membuat masa depan lebih dari 600.000 pengungsi
menjadi tidak menentu, banyak di antaranya berasal dari negara-negara yang
terpecah karena perang, seperti Somalia," Vernon Brewer, pendiri dan
direktur dari World Help yang berbasis di Virginia, dalam sebuah pernyataan resminya yang dikutip CBN.com. "Orang-orang
yang sudah tinggal di ambang kematian pasti akan mati jika dunia tidak segera
merespon krisis yang tidak menentu ini. "
Kenya sebelumnya pernah mengancam untuk menutup kamp-kamp
pengungsi itu di masa lalu dan memanfaatkannya untuk keuntungan politik selama
pemilu, tapi saat ini pihak otoritas menindaklanjuti rencana itu dengan menutup
Departemen Urusan Pengungsi. Mereka bahkan telah membentuk satuan tugas untuk
penutupan kamp di Dadaab.
"Ini luar biasa," kata Abdullahi Aden Hassan kepada
Guardian. Ayah dari sembilan anak
tersebut adalah salah satu orang yang pertama tiba di kamp pengungsian itu pada
tahun 1992. Dia sekarang menjabat sebagai juru bicara para pengungsi di kamp.
"Semua orang hanya tertegun dan benar-benar sedih. Masih ada perang
terjadi di begitu banyak bagian dari Somalia. Saat ini terlalu berbahaya untuk kembali kesana."
Pemerintah mengklaim bahwa kelompok teror berbasis di Somalia al Shabbab menggunakan kamp-kamp
pengungsian untuk serangan teror, termasuk serangan di Westgate Mall pada
September 2013.
Namun peneliti senior tentang pengungsi dari Human Rights
Watch, Gerry Simpson tidak setuju.
"Tidak ada satu pun bukti bahwa pengungsi Somalia yang
terdaftar di Kenya berada di balik serangan di Kenya," demikian pernyataan
Gerry. "Sejauh ini, tidak seorangpun pengungsi Somalia telah dituduh atau dihukum karena pelanggaran
tersebut. Dalam kasus serangan terhadap Westgate Mall di Nairobi, dan serangan
Garissa di timur laut Kenya tahun lalu, warga Somalia telah didakwa atas
serangan itu, tetapi orang tersebut
datang langsung dari Somalia, dan tidak terdaftar sebagai pengungsi . "
Brewer mengatakan bahwa bukan tanggung jawab organisasinya untuk campur tangan dalam
politik tetapi ia meminta bangsa tersebut untuk mempertimbangkan kembali
keputusan mereka.
" Mungkin para
pejabat Kenya tidak akan merasa terpaksa mengambil tindakan drastis seperti itu
jika masyarakat internasional memberikan
dukungan lebih untuk layanan kemanusiaan dan keamanan ?," demikian tanyanya.
"Dunia harus sadar akan fakta bahwa kita sekarang
memiliki pengungsi terbanyak sepanjang sejarah, dan bahwa orang-orang ini rentan,
terutama perempuan dan anak-anak, mereka adalah tanggung jawab kita
semua."