<!--[if gte mso 9]><xml>
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak proposal kereta cepat Jakarta-Bandung yang diajukan oleh Jepang dan China. Penolakan itu diambil dengan alasan bahwa secara teknis kecepatan riil kereta tersebut ternyata tidak secepat dengan yang dijanjikan oleh kedua calon investor, di mana dalam proposal penawarannya rata-rata kecepatan bisa mencapai 350 kilometer (km) per jam.
Dijelaskan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, untuk menempuh jarak 150 km Jakarta-Bandung kereta cepat harus melintasi lima hingga delapan stasiun. Apabila memperhitungkan waktu transit kereta di sejumlah stasiun itu, maka kecepatan maksimal kereta tersebut sebenarnya hanya sekitar 200 km per jam.
"Walau kecepatannya bisa teoritis 350 km per jam, mereka tidak akan pernah bisa mencapai itu karena untuk mencapai kecepatan 250 km perlu 14 menit. Maka belum sampai kecepatan maksimum sudah mulai harus direm. Sehingga kecepatannya hanya 200-an km," kata.
Atas pertimbangan itu, Jokowi seperti dijelaskan
Darmin, menilai untuk menghubungkan Jakarta-Bandung cukup menggunakan kereta
berkecepatan menengah, 200-220 km per jam. Selain itu, presiden memperkirakan
pengunaan kereta berkecepatan menengah akan lebih murah 30-40 persen
biayanya dibandingkan dengan kereta cepat. "Hanya beda sampainya, dari
Jakarta-Bandung paling-paling lebih lambat 10-11 menit, biayanya berkurang
jauh," katanya.
Tak hanya itu, lanjut Darmin, dalam proposal yang diajukan oeh Jepang dan China
tidak disebutkan secara detil standar pemeliharan dan pelayanan kereta cepat
ketika mulai beroperasi. Berangkat dari pertimbangan itu, Mantan Gubernur Bank
Indonesia (BI) itu mengatakan pemerintah akan menyusun kerangka acuan yang
jelas untuk pembangunan kereta api dengan kecepatan menengah.
Untuk itu, China dan Jepang jika tertarik dipersilakan
mengajukan proposal yang sesuai dengan kerangka acuan yang dibuat Indonesia. "Baik
Jepang maupun China dipersilakan menyusun proposal baru dengan kerangka acuan
yang kita buat dan rumuskan menurut kebutuhan dan kepentingan kita
sendiri," jelas Darmin.
Namun, Darmin kembali menegaskan bahwa pemerintah tidak akan terlibat dalam
pendanaan proyek triliunan rupiah tersebut. Dengan kata lain, lanjutnya,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak akan digunakan untuk
mendanai proyek tersebut, tak terkecuali dengan Penyertaan Modal Negara (PMN) ke
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). "Hal pertama yang diputuskan oleh
Presiden adalah apapun juga pembangunan kereta cepat ini tidak boleh
menggunakan APBN. Langsung atau tidak langsung," jelas Darmin.
Darmin Nasution menambahkan, nantinya BUMN akan diberi kewenangan untuk mencari
partner dalam menggarap proyek tersebut. "Ya bagaimana rancangannya
Kementerian BUMN akan ambil peranan utama," katanya.Sebagai informasi,
Presiden Jokowi telah memutuskan proyek kereta cepat untuk diselesaikan secara
bisnis oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalu skema bisnis (B to B).
Pemerintah Jepang Kecewa
Menyikapi keputusan ini pemerintah Jepang melalui Duta
Besar Jepang untuk Indonesia Yasuaki Tanizaki menyatakan kekecewaannya. "Kami
mengutarakan kekecewaan kami terhadap hasil evaluasi. Kekecewaan kami berdasarkan
dua alasan," ujar Tanizaki saat menyambangi kantor Darmin di Lapangan
Banteng Jakarta Pusat, Jumat (4/9).
Alasan pertama menurutnya pemerintah memutuskan menolak proposal proyek kereta cepat yang diajukan Jepang dan meminta memperpanjang masa studi kelayakan (feasibility study) terhadap proyek
kereta cepat Jakarta-Bandung.
Padahal Tanizaki mengaku pemerintahnya sudah mengeluarkan biaya banyak untuk
mendanai studi kelayakan yang dilakukan sejak 2014 lalu. Tak hanya itu,
transfer teknologi dari pekerja Jepang ke Indonesia pun juga gencar dilakukan. "Tentu
kami sudah mengeluarkan uang sangat banyak," ujarnya.
Kedua, lanjut Tanizaki, Jepang kecewa pemerintah
Indonesia meragukan tingkat keamanan dan kualitas kereta cepat buatan mereka.
Padahal menurutnya tingkat keamanan dan teknologi kereta cepat buatan Jepang
sudah banyak diadaptasi di berbagai negara. "Kami pastikan Jepang memiliki
teknologi yang canggih dan keamanan yang tinggi, keputusan ini kami anggap
sangat berat," ujarnya.
Kendati demikian, Tanizaki mengatakan Jepang akan tetap menghormati keputusan
yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia. "Kami sangat menghormati apapun keputusannya, kami juga menghormati
keputusan masyarakat. Hubungan bilateral kami akan tetap kuat dan terus berjalan," ujarnya.