Saat ini para
pengusaha-pengusaha perdagangan asal Israel tengah khawatir menghadapi
kemungkinan bangkrut atau usaha mereka akan jatuh. Hal itu dikarenakan perubahan situasi politik di Israel yang kini dipimpin oleh pemerintahan sayap kanan, selain buntunya perundingan damai
dengan Palestina. Hal yang menyebabkan kondisi ekonomi Israel didalam kegentingan dan kampanye internasional untuk memboikot produk-produk Israel.
Salah seorang pengusaha anggur asal Israel bernama Yaakov Berg sejak dua tahun yang lalu telah diminta oleh pengimpor asal Afrika Selatan untuk melabeli anggur produksi Yaakov dengan Made in Occupied
Palestine”—secara longgar berarti produk dibuat di wilayah pendudukan Israel. Ia menolak. Ujungnya, pelanggan pergi. Tahun lalu, penjualan anggurnya ke Eropa dan Afrika Selatan turun 50 persen. Untuk menyelamatkan usahanya, Yaakov berupaya memperluas pasar
dengan membuka toko online serta gudang di Amerika Serikat. Dengan cara
tersebut, ia tidak perlu berhadapan dengan para pengimpor yang mematuhi seruan boikot.
Pada Selasa, para pejabat Uni Eropa mengatakan tengah berupaya mendesak Israel untuk memasang label serupa, demikian laporan Associated Press.
Perdana
Menteri Israel Benjamin Netanyahu di hadapan kabinet menyatakan niatnya untuk
meningkatkan upaya memerangi seruan global untuk memboikot Israel dan
produk-produknya.
Pernyataan tersebut muncul setelah Stephane Richard, CEO raksasa
telekomunikasi Perancis, Orange, berencana mengakhiri kesepakatan yang
memungkinkan penyedia layanan seluler Israel menggunakan nama brand tersebut.
Orange bahkan mempertimbangkan rencana untuk hengkang dari Israel. Perusahaan
itu memang mengaku berada di bawah tekanan dari konsumen Eropa dan Arab, namun Orange
menyatakan keputusan itu berdasarkan alasan bisnis, bukan politik.
Pekan lalu, Israel pun
menerima ancaman untuk ditendang dari FIFA, serta menjadi target boikot Serikat Pelajar Inggris. Para petani, pemilik pabrik, serta pengusaha di bidang teknologi
di wilayah pendudukan Israel—mencakup Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, serta
Lembah Sungai Yordan—harus bergulat demi beradaptasi dengan ancaman boikot.
Banyak warga Israel tidak menganggap serius gerakan boikot.
Pasalnya, ekspor kawasan Tepi Barat hanya menyumbang 1 persen produk domestik bruto negara itu. Bagaimanapun, “ini masalah branding, dan juga secara psikologis
dan politis merupakan masalah,” kata Joseph Ackerman dari Kementerian Ekonomi
Israel.
Gerakan yang diluncurkan oleh Otoritas Palestina pada 2005
sebagai Boikot, Divestasi, dan Sanksi telah memanas belakangan ini, sebagian karena memburuknya hubungan Israel-Palestina. Saat ini, Eropa adalah
pasar ekspor terbesar Israel dengan menyumbang USD24,5 miliar per tahun. Pada
2014, ekspor ke Eropa menyumbang 35 persen total perdagangan Israel.
Anda diberkati dengan artikel ini, yuk share artikel ini di Facebook-mu
dan ajak teman-temanmu untuk re-share link artikelnya. Semakin banyak
yang re-share, semakin keren hadiahnya. Keterangan lebih lanjut, KLIK DI
SINI