Meningitis Merenggut Penglihatanku & Menghancurkan Cita-citaku
Sumber: Solusi

Family / 5 May 2015

Kalangan Sendiri

Meningitis Merenggut Penglihatanku & Menghancurkan Cita-citaku

Puji Astuti Official Writer
10377

Setelah lulus SMA, Reni Marina bercita-cita untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Beruntung hal itu mendapat dukungan dari seluruh anggota keluarganya. Reni pun dengan bersemangat menyiapkan diri untuk meraih impiannya.

"Saya orangnya perfeksionis, segala sesuatunya maunya harus sempurna. Dan saya berpikir cita-cita saya itu harus saya capai," demikian tutur Reni.

Reni memiliki kemauan kuat untuk berhasil, untuk itu ia begitu serius belajar, namun hal itu membuatnya sering lupa waktu sehingga ia tidak makan dengan teratur hingga membuatnya sakit maag. Suatu hari dalam keadaan perut kosong, ia meminum minuman bersoda sebotol penuh, hal itu memperburuk sakit maagnya.

"Awal-awalnya saya biarkan, saya tahan-tahan, saya ngga kepikiran untuk ke dokter," jelas Reni tentang kondisinya waktu itu.

Namun kondisinya malah memburuk, ia merasa lambungnya serasa dibakar, "Kaya mau meledak rasanya, saking panasnya."

Sang kakak yang melihat kondisi Reni menjadi kuatir dan langsung membawanya ke klinik. Ketika ditangani oleh dokter, Reni diruju ke rumah sakit untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Sewaktu di bawa pulang, Reni muntah darah baru kemudian dilarikan ke rumah sakit.

Reni didiagnosa oleh dokter mengidap tipes, namun beberapa hari dirawat kondisinya malah memburuk bahkan mengalami kejang.

"Dia panas tinggi lalu koma," demikian tutur Betti Sihombing, kakak Reni.

Setelah dua minggu dalam keadaan koma, Betti diberi tahu oleh dokter bahwa adiknya mengalami meningitis, atau radang otak yang dikarenakan bakteri telah mencapai selaput otak.

"Saya tidak tahu berapa lama saya koma, pas saya sadar, saya merasakan gelap dan saya panggil kakak saya."

Reni bertanya kepada kakaknya, mengapa kondisi di sekelilingnya gelap. Ia menduga mungkin karena mati lampu. Sang kakak pun panik dan sedih melihat kondisi Reni, ia pun segera memanggil dokter. Setelah diperiksa, dokter menyatakan bahwa Reni mengalami kebutaan.

"Saya menangis, saya teriak-teriak histeris, saya menyalahkan dokter."

Dokter memberikan sedikit harapan adanya kemungkinan penglihatannya akan pulih, Reni sungguh berharap hal itu benar. Namun setelah di bawa ke dokter mata, hasil pemeriksaan menyatakan bahwa saraf mata Reni mengalami kelumpuhan akibat meningitis yang ia alami. Dokter memvonis dirinya tidak akan bisa melihat lagi selamanya.

Sedih, marah, putus asa, itulah yang dirasakan oleh Reni. Baginya impian untuk melanjutkan kuliah sudah pupus. Ia merasa hidupnya sudah hancur. Keluarganya pun saling menyalahkan atas kemalangan yang dialami Reni, hal itu menambah kesedihannya.

Setelah segala upaya medis tidak membuahkan hasil, Betti mendapatkan saran untuk membawa adiknya itu ke orang pintar.

"Kita keluarga karena demi kesembuhan mau saja," ungkap Betti.

Namun harapan Reni untuk bisa melihat tidak juga terwujud. Akhirnya keluarganya pun membawanya pulang ke kampung. Tetapi sang ibu yang melihat kondisi Reni yang kini buta merasa sedih, ia pun mengalami depresi dan komplikasi penyakit hingga akhirnya meninggal dunia.

Kehilangan ibu yang dicintainya membuat Reni bertambah sedih, ia pun berpikir bahwa dirinya tak mungkin lagi kuliah.

"Orang yang buta itu bisanya cuma pijat, menganyam dan mengemis," demikian pikir Reni. Namun ia tidak ingin hal itu menjadi masa depannya, kondisinya yang buta membuatnya tidak ingin hidup lagi. Selama lima belas tahun ia mengurung diri dalam kondisi depresi.

Hingga suatu malam, ia bermimpi, "Waktu itu saya berada di tengah-tengah sungai yang arusnya besar, tiba-tiba saya lihat ada kertas di sungai itu, tertulis Filipi 4:13."

Saat ia bangun, ia meminta kakaknya untuk membacakan isi ayat tersebut. Ayat tersebut berkata " Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku."

"Mendengar ayat itu saya merasa tersentuh dan dikuatkan."

Setelah itu, Tuhan pun membukakan sebuah pintu yang baru dalam hidup Reni. Saat ia mendengarkan radio, tidak sengaja ia menemukan saluran rohani. "Disana saya mendengarkan banyak kesaksian-kesaksian orang dan juga kesaksian orang tuna netra."

Siaran radio tersebut membawanya berkenalan dengan Yayasan Elsafan, lembaga yang menangani para penderita tuna netra. Tahun 2010, Reni pun bergabung dengan Yayasan Elsafan. Disana ia dibina dan masuk di kelas pengembangan diri hingga ia bisa menggunakan komputer melalui sistem suara dan belajar membaca dan menulis dengan huruf braile serta berjalan menggunakan tongkat.

"Disinilah saya merasakan kasih Tuhan yang luar biasa. Dan saya benar-benar menerima diri saya kembali. Dan disitu saya berpikir bahwa Tuhan itu ada dan dekat. Semenjak itu saya mulai berdoa sama Tuhan dan minta ampun sama Tuhan, karena saya sempat mempersalahkan Tuhan."

Bukan hanya mengalami pemulihan rohani dan mental, Reni pun mendapatkan inspirasi dan dukungan untuk melanjutkan pendidikannya kembali. Ia akhirnya mendaftarkan diri untuk kuliah ke sebuah perguruan tinggi.

"Saya berkuliah disekolah umum di perguruan tinggi jurusan pendidikan. Di kelas saya pakai alat perekam, jadi saya merekam setiap pelajaran yang disampaikan oleh dosen dan dirumah saya pindahkan ke laptop, seperti itu setiap hari dan puji Tuhan selama kurang lebih empat tahun."

Keluarga dan semua orang yang mengenal Reni secara pribadi melihat perubahan besar yang dialaminya merasa bangga akan pencapaiannya. Sekalipun kini ia tidak melihat, namun ia tetap bisa berkarya dan menjadi berkat. Bahkan sebentar lagi ia akan mendapatkan gelar sarjana dalam bidang pendidikan.

"Kalau saya sudah lulus sarjana saya akan lebih semangat lagi untuk berkarya dan bekerja dan melayani untuk kemuliaan Tuhan, karena saya merasa semua yang saya lakukan selama ini karena tuntunan Tuhan dan atas kebaikan dan kemurahan Tuhan. Ternyata benar bahwa segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku," demikian tutup Reni.

Sumber : Reni Marina
Halaman :
1

Ikuti Kami