Cara Bijaksana Menghadapi Bayi Yang Rewel Karena Sakit

Parenting / 27 April 2011

Kalangan Sendiri

Cara Bijaksana Menghadapi Bayi Yang Rewel Karena Sakit

Lestari99 Official Writer
5480

Masuk ke rumah sakit di bangsal anak-anak memang bukan merupakan impian setiap ibu. Malam-malam yang harus dilalui tanpa  tidur nyenyak karena selalu diiringi nyanyian tangisan anak-anak cukup menyiksa, menambah beban mental karena kuatir dengan keadaan anak sendiri.

Di kamar kami ada beberapa pasien lain yang juga sedang menjalani nasib ini. Ibu-ibu muda dari bebagai latar belakang sosial, pendidikan, kepercayaan, pekerjaan, tapi disatukan oleh nasib anak mereka yang terserang penyakit.

Beda Ibu, Beda Pola Asuh

a. Ibu yang dingin dan suka mengancam

Ibu pertama, datang di pagi hari Sabtu. Anaknya adalah penyebab lingkaran di bawah mata saya bertambah dalam  karena kurangnya tidur. Semalaman anak yang berusia sekitar 1,5 tahun itu juga pasti tidak tidur dan energinya telah terbuang  untuk menangis. Ibunya kelihatan frustasi menghadapi kerewelan anaknya itu dan sayangnya tidak tahu cara yang tepat untuk meredakan lengkingan-lengkingan tajam bayi lucu itu. Dimulai dengan membujuk “Diam nak, jangan nangis”, kemudian ketika  frustasinya semakin tinggi “Kenapa sih kamu menangis terus?”, diteruskan dengan ancaman “Kalau nggak diam ibu pergi lagi loh” kalimat yang tidak bisa diwujudkannya karena suami yang menjaga anaknya semalam telah pulang untuk tidur. Tidak ada yang bisa menggantikannya.

b. Ibu yang panik dan suka berbohong

Ibu kedua yang masuk ke bangsal kami, kelihatan panik. Setelah dua hari di rumah sakit lain, tidak ada perubahan yang mereka  alami kecuali uang keluarga melayang berjuta-juta.  Ia mengeluh dengan pelayanan rumah sakit dan menganggap suster-susternya judes. Kasihan juga teman saya yang satu itu yang  berharap suster yang super sibuk datang mengganti popok anaknya yang sedang diare. Dengan tidak rela akhirnya ia mengerjakan sendiri dan meninggalkan popok penuh kotoran itu di toilet  dalam posisi tidak tergulung. Kali ini gantian saya yang sewot karena tiap kali masuk toilet pemandangan dan bau yang tidak menyenangkanlah yang saya alami.

Si ibu panik ini adalah seorang pengusaha yang sibuk bekerja sepanjang hari dan mempercayakan bayinya dijaga mertua. Anak kecil ini tentu tidak punya bonding dengan ibu pencari nafkah ini. Meski biaya rumah sakit yang sangat besar dapat dibayar dengan mudah, tangisan rasa sakit tidak bisa diredakan orangtuanya.  Untuk menenangkan anaknya ibu ini senantiasa berkata “Diam ya, itu nenek  datang” sambil menunjuk ke mobil tamu rumah sakit yang lalu lalang. Sementara itu jeritan anaknya tidak mereda sedikitpun.

c. Ibu cemas yang penuh perhatian

Selanjutnya, Ibu ketiga yang masuk  membuktikan bahwa kami telah tinggal di rumah sakit itu cukup lama sehingga beberapa orang datang dan pergi. Ibu ceria yang penuh perhatian dengan anak yang hampir tidak kedengaran suaranya. Ibu yang berceloteh sepanjang hari dan mengajak mengobrol anaknya yang juga berusia sekitar 1,5 tahun seakan-akan anak itu adalah mahasiswa kelas komunikasi.  Rasanya ia cukup beruntung karena anaknya tidak menderita kolik seperti anak saya dan kedua bayi terdahulu. Tidak ada jeritan atau lengkingan tajam yang memekikan telinga orang lain dan menyayat hati ibunya.

Saya baru sadar bahwa sebagian wanita berbicara terlalu banyak jika mereka tegang. Masalahnya tidak semua yang sadar kepada siapa mereka bisa berbicara. Kepada seorang bayi yang vokabularinya masih terbatas dan butuh tidur tentu bukan pendengar yang tepat. Tetangga kamar yang kurang tidur berhari-hari juga bukan pendengar yang baik.

Respon Ibu  Menentukan Kepribadian Anak Di Masa Depan

Anak pertama, dengan ibu yang dingin dan sering mengancam. Anak ini mempunyai bonding yang tidak kuat dengan ibunya dan ia akan belajar bahwa perasaannya tidak penting. Ia adalah seorang yang tidak patut dikasihi dan mendapat perhatian. Tidak ada yang perduli dengan apa yang dirasakannya dan jika ia berani mengekspresikan perasaan negatifnya maka akan ada konsekuensi negatif  juga yang akan diterimanya. Ia akan belajar meredam atau menekan emosinya, menghindari hubungan terlalu dekat, takut pada intimasi dan tentu saja krisis kepercayaan diri.

Pada tahap perkembangan anak ini, mereka belajar untuk tidak menanamkan rasa percaya mereka kepada individu di luar diri mereka. Dalam hal ini ibu atau pengasuh dekat lainnya. Gagalnya pengasuh membaca sinyal atau respon yang salah terhadap kebutuhan mereka akan membuat kemampuan anak untuk mempercayai sesuatu di luar dirinya terganggu.

Anak kedua, lahir dari ibu yang juga sibuk dan tidak terlibat banyak dalam kehidupannya. Kebutuhan emosinya diisi dengan janji kosong untuk menenangkannya sementara tapi dengan segera ia akan belajar bahwa apa yang ia harapkan tidak akan menjadi kenyataan.  Anak ini akan bertumbuh menjadi anak yang tidak mengerti batasan-batasan . Ia tidak mempu membedakan yang benar dari yang salah. Ia juga kesulitan untuk mengerti mana yang bisa dan yang tidak bisa.  Ia akan menjadi seorang yang memaksa, menuntut atau yang tidak perduli sama sekali.

Anak ketiga, sedikit beruntung karena menerima kompensasi dari kecemasan ibunya lewat perhatian yang berlebih-lebihan. Pada usia sekolah ia akan menerima mainan mahal atau gadget canggih sebelum usia pantasnya. Apalagi jika si ibu sibuk dan memberi anaknya hadiah bahkan lebih banyak lagi untuk menutupi rasa bersalah atau rasa tidak mampu. Ibunya memastikan bahwa sebelum anaknya membutuhkan sesuatu,  apapun itu telah tersedia.

Sedikit sama dengan anak kedua yang tidak mengerti batasan-batasan, ia akan menjadi orang yang punya paradgima yang salah tetang dunia di sekitarnya. Tidak diberi kesempatan bagi keperibadiannya dibentuk lewat tantangan dan masalah akan membuat mereka tidak mencapai tahap kematangan jiwa. Di kemudian hari, jika ada masalah yang tidak bisa dihindari, mereka cenderung menyembunyikan diri, menarik diri, depresi atau nekad tanpa pikir resiko.

Rasa Sakit Tidak Bisa Dihindari, Tapi Bisa Diringankan

Kenyataan ini mungkin menimbulkan pertanyaan kepada ibu-ibu mengenai pola asuh yang benar. Saya ingat, ketika Joel berusia 1,5 tahun dan mengalami apa yang dialami para ibu muda kurang pengalaman. Dalam suatu perjalanan udara, anak saya yang masih dalam kondisi tidak sehat menjerit kesakitan selama 12 jam terbang. Tatapan mata dari para penumpang yang kelihatan sangat terganggu tersebut menusuk hati saya. Para pramugari yang ramah telah kehilangan segala kesabarannya, menuntun saya ke koridor dekat pantry berharap ada ilmu ampuh yang bisa saya keluarkan untuk mendiamkan anak saya. Sayangnya, ilmu saya tidak cukup tinggi, pengetahuan parenting saya juga tidak banyak, satu-satunya hal yang bisa saya lakukan adalah memeluk anak saya erat-erat (bergantian dengan Papanya) sambil menenangkan dengan kata-kata kasih.

Setelah itu, saya baru belajar, bahwa memang tidak ada ilmu yang manjur untuk menenangkan anak kesakitan selain kasih sayang dan ketenangan ibu.  Mendengar suara ibu yang merdu penuh kasih sayang yang membuainya mungkin tidak menghilangkan rasa sakitnya. Anak itu belajar bahwa dalam dunia ada masalah, rasa sakit pun tidak bisa dihindari. Yang membuat beda, ada rasa percaya diri dalam anak tersebut bahwa ada orang lain perduli, yang bersama-samanya melewati masa susah tersebut. Anak juga akan belajar sifat empati, kemampuan untuk ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain.

Sebagai orangtua, kita tidak bisa melindungi anak kita dari ‘sakit’nya dunia ini. Paling tidak, tidak untuk selamanya. Memberikannya mereka kesempatan untuk mengalami sakit tapi memberi dukungan, pengertian dan kasih sayang sangat membantu mereka menjadi pribadi yang matang.

Penulis adalah seorang konselor profesional dan juga penulis buku "Turning Hurt Into Hope" (Metanoia 2009).

Sumber : Nancy Dinar
Halaman :
1

Ikuti Kami