Tertawa Di Tengah Penderitaan

Psikologi / 18 November 2010

Kalangan Sendiri

Tertawa Di Tengah Penderitaan

Lestari99 Official Writer
7587

Iman tidaklah berguna. Setidaknya, itulah yang saya pikirkan terus-menerus di dalam otak saya. Hati saya berfokus pada rasa sakit daripada kehadiran penyembuhan Allah. Setahun terakhir ini, kepercayaan saya kepada kuasa dan kasih Tuhan benar-benar diuji.

Pada tanggal 27 Maret, sehari setelah melakukan perjalanan yang mengubah hidup ke Israel bersama dengan orangtua dan kakak saya, hal yang tak terpikirkan menjadi kenyataan. Ayahku mengalami stroke.

Ekspresi yang ditunjukkan kakak perempuan saya membuat perut ini melilit. Ia mulai menangis ketika mengabarkan hal itu kepada saya. Reaksi pertama saya adalah “Tuhan, tolong kami!”

Bulan-bulan terus berlalu semenjak pertama kali saya melihat ayah terbaring di tempat tidur gawat darurat yang tersambung dengan mesin. Jika dipikirkan kembali, saya mendesah saat saya mengingat ketidakpastian waktu dan apa yang biasa dapat digunakannya dengan mudah kini menjadi tidak begitu mudah lagi.

Saya melihat bagaimana ayah harus berjuang untuk berjalan ke mobil atau bagaimana ia harus bersusah payah membuka sebotol air karena tersedak dan kehausan. Semua hal ini kembali masuk ke dalam kenangan saya. Stroke membuat bagian tubuh sebelah kiri ayah menjadi lumpuh. Ayah harus berjalan dengan tongkat, dan kaki kirinya harus menyentak ke depan untuk membuat langkah berikutnya. Tangannya masih tidak dapat digunakan. Jadi saat kerongkongannya kering dan tidak ada air minum di dekatnya, ia harus berjuang membuka tutup botol dengan satu tangan.

Tuhan telah membawa ayah pulih sampai sejauh itu, dan saya percaya bahwa pemulihan yang dialaminya akan terjadi terus-menerus. Pada hari-hari ini, ayah mendorong dirinya untuk bekerja selama 40 jam seminggu di kantor dengan menggunakan alat pengendali tangan pada kursi rodanya.

Sesuatu yang traumatik seperti stroke juga dapat memperngaruhi pikran dan emosi seseorang. Dan saya melihat hal itu juga. Meskipun ayah tidak pernah takut untuk menunjukkan perasaannya, situasi yang tidak pernah diharapkannya memancing emosi yang kuat sebelum akhirnya ayah bisa seperti saat ini. Ayah bisa menangis tak terkendali lalu kemudian tertawa betapa konyolnya dirinya karena menangis begitu keras. Bahkan dalam keheningan, ayah akan tersenyum ketika ia mencoba untuk membuka matanya agar dapat melihat melalui air mata yang menghalangi pandangannya.

Saya akhirnya menangis dan memeluk lehernya saat kami tertawa bersama. Sangat sulit bagi saya untuk mendengarnya menangis, namun saya bersyukur atas suara tawa yang tak dapat dijelaskan yang mengikuti tangisan itu.

Sangat sulit bagi kita melihat seseorang yang kita kasihi harus melewati krisis kesehatan. Anda merasa tak berdaya dan putus asa karena tidak ada yang dapat Anda lakukan untuk meringankan rasa sakit atau membuat tubuh mereka kembali sehat. Saya hanya tahu bahwa Tuhan bisa berkata dengan sangat mudah sembuh, maka semuanya akan pulih seperti sedia kala.

"Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti?” – Matius 7:7-9

Ketika Anda sempoyongan menghadapi cobaan Anda sendiri, ingatlah untuk terus bersandar kepada Tuhan. Ketuklah pintu sampai tinju Anda memar dan surga akan terbuka mencurahkan penyembuhan. Berdoalah tanpa henti sehingga anggota keluarga maupun teman Anda menerima pemulihan yang daripada Tuhan. Miliki iman dan Tuhan akan memindahkan gunung.

Selama beberapa minggu pertama, ayah saya menghabiskan hari-harinya di kamar rehabilitasi rumah sakit yang steril. Setiap malam setelah jam jenguk berakhir, perasaan putus asa menyelimuti saya. Setiap langkah yang saya ambil sekeluarnya dari bangunan rumah sakit mengingatkan saya bahwa ayah tidak akan bisa lagi berjalan seperti saya saat ini.

Perasaan bersalah menyelimuti saya. Sangat tidak enak rasanya untuk meninggalkan ayah di sana. Saya harus membiarkan ayah melewati malam demi malam hanya dengan mencium keningnya sambil mengucapkan selamat tinggal. Berjalan ke elevator dan keluar dari pintu kamar perawatannya menjadi hal yang sangat melelahkan. Itu tidaklah adil. Tidak seharusnya saya meninggalkan ayah saya di sana. Namun kesendirian saya bersama dengan Tuhan dan dorongan yang diberikan-Nya telah menolong saya lebih dari setiap kata-kata simpati dari orang lain.

Tuhan tahu bila hidup terkadang dapat membuat Anda sengsara. Serahkan rasa sakit Anda kepada-Nya. Tuhan tahu kesedihan Anda, Ia menanggung beban itu ke atas pundak putra-Nya melalui kematian-Nya yang mengerikan. Tuhan mengerti rasa frustrasi Anda ketika Anda merasa Ia tidak peduli. Tuhan akan menunjukkan kepada Anda seberapa pedulinya Ia sebenarnya.

Kecemasan saya mereda saat saya melihat ayah tertawa di tengah penderitaannya. Meskipun imannya semakin diperkuat dari sebelumnya, ayah saya telah berjalan dengan cara terbaik yang ia bisa – dengan Bapa Surgawinya.

Sumber : Hannah Goodwyn - cbn.com
Halaman :
1

Ikuti Kami