Anak Rewel? Mungkin Dia Bingung Ungkapkan Emosi

Psikologi / 17 November 2008

Kalangan Sendiri

Anak Rewel? Mungkin Dia Bingung Ungkapkan Emosi

Puji Astuti Official Writer
5730

Anak terlahir bagaikan kertas putih. Bukan saja pendidikan formal dan nilai moral yang harus ditanamkan, tapi diperlukan juga melatih kecerdasan emosi si kecil.

Setiap orang di dunia memiliki kepribadian, karakter, dan emosi yang berbeda. Begitu pula pada balita (bawah
lima tahun). Karakter anak pada usia ini sangat ditentukan oleh apa yang mereka lihat dan dengar. Semakin banyak anak usia dini mendengarkan atau melihat ketidakadilan di lingkungannya, maka akan membuat emosi anak semakin tidak menentu. Selain itu, televisi menjadi media yang produktif untuk memengaruhi emosi anak.

Ketidaksanggupan anak membedakan emosi biasanya ditandai dengan kadang-kadang marah yang sulit dikendalikan, atau merasa senang berlebihan dan tiba-tiba berdiam diri tanpa tahu alasan dan penyebabnya. Tingkah laku tersebut biasanya berawal dari keinginannya untuk meniru apa yang mereka lihat. Meniru kemarahan tokoh di film kartun misalnya, atau menyaksikan si tokoh menangis dalam sinetron-sinetron. Dan itu ingin diungkapkan oleh anak-anak dengan caranya masing-masing.

Lalu sebagai orangtua yang cerdas, mengamati sehat atau tidaknya emosi yang dimiliki anak perlu dilakukan segera. Jika anak sering marah tanpa alasan, menangis tanpa sebab atau berdiam diri, maka segeralah memperbaiki perubahan yang terjadi tersebut. Sebaiknya, orangtua hanya disarankan untuk sering-sering menerangkan kepada anak jenis emosi seperti apa yang sedang dilihat.

"Secara garis besar, ada dua hal utama dalam kecerdasan emosi anak, yaitu mengenali dan mengelola emosi. Langkah pertama mengajarkan kecerdasan emosi adalah mengenalkan berbagai jenis emosi kepada anak dengan menyebutkan jenis-jenis emosi," kata dosen psikologi Universitas Gunadarma, Dewi Adrian Wijaya.

Menurut Dewi, tips sederhana dalam mengajarkan kecerdasan emosi yakni sering menyebutkan berbagai jenis emosi langsung kepada anak. Misalnya anak sedang cemberut, maka orangtua dapat menegaskan situasi emosi tersebut, misalnya dengan menanyakan, "Adik cemberut, apa sedang kesal? Adik kesal apa karena Ibu melarang nonton televisi?". Dengan demikian, anak dipandu untuk terbiasa mengenali kondisi emosi dirinya dan penyebab munculnya emosi itu. "Semakin sering anak mendengar jenis emosi dan pemicunya, anak akan diajarkan untuk menilai sendiri emosi seperti apa yang dimilikinya," sebut dosen berjilbab tersebut.

Metode yang dilakukan itu adalah konsep kecerdasan emosi yang di Indonesia masih belum banyak diminati dan belum banyak dikenal oleh orangtua.
Namun, di Amerika kecerdasan emosi seperti itu sudah dipopulerkan oleh Daniel Goleman pada 1995 lalu. "Di Amerika orangtua semakin sadar dan yakin bahwa keberhasilan anak tidak lagi cukup dengan keterampilan teknis dan pengetahuan ilmiah," sebutnya. Namun, Dewi menyebutkan, dengan kemampuan pengendalian diri dan hidup bermasyarakat.

Cara lain mengenalkan kecerdasan emosi kepada buah hati adalah menunjukkan berbagai gambar, atau mengomentari situasi, baik di majalah, televisi, maupun media lainnya. Misalnya, ketika melihat televisi saat ada tokoh yang sedang sedih karena dinakali tokoh lainnya, maka orangtua harus berkomentar, "Aduh, kasihan sekali, pasti dia sangat sedih karena tindakan nakal temannya itu." Hal yang sama dapat dilakukan pula saat membaca dongeng. Orangtua perlu berkali-kali menyebutkan situasi emosi para tokoh dalam cerita tersebut.

Selain memperkenalkan berbagai jenis emosi, pada saat yang sama, anak juga belajar hal-hal yang menyebabkan munculnya emosi tersebut, misalnya perasaan sedih salah satu tokoh cerita karena ditipu atau dihina tokoh lain. Orangtua juga dapat pula memberikan penilaian moril atas situasi tersebut. Misalnya menghina adalah suatu perbuatan buruk dan jahat sehingga anak menjadi tahu nilai moril dari suatu perilaku.

Sementara itu, ibu rumah tangga Hartati Julian Hoen mengaku mengajarkan kecerdasan emosi kepada putranya dengan memberikan alasan apa yang membuat dirinya marah atau sedih. "Ketika melihat anak saya nakal, maka saya akan mengatakan langsung kalau saya sedih dan menerangkan pula apa yang menyebabkan kesedihan itu," katanya.

Demikian pula Hartati menyebutkan, dirinya akan mengatakan secara terbuka kepada putranya yang masih berusia empat tahun tentang perasaan lain yang dirasakannya. "Jika sudah terbiasa, anak tidak akan sungkan-sungkan mengungkapkan perasaannya. Entah itu sedih, marah dan senang dan itu telah saya alami dengan putra saya Robi Julian Hoen," sebutnya lagi.

Sumber : okezone.com/VM
Halaman :
1

Ikuti Kami