Nama usahanya itu Batagor Cuplis. Awalnya beroperasi di kaki lima lalu dikembangkan lewat ekspansi pembukaan cabang dan semi waralaba. Dengan modal awal Rp10 juta pada tahun 2001, kini batagornya diproduksi 7000 potong per hari dan didistribusikan lewat 46 outlet di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Padahal, di awal produksi, ia hanya bisa menjual 200 batagor per hari.
Apa kiranya yang membuat Sugieharto Gunawan memilih menjadi pengusaha selepas kuliah?
Sebenarnya dulu sambil kuliah Sugieharto, sempat bekerja di perusahaan MLM. Tetapi kegemarannya memasak dan melihat usaha kakeknya yang menurutnya mempunyai peluang, ia akhirnya memulai langkah jadi entrepreneur. Pada tahun 2001 tatkala kuliahnya belum kelar-dan akhirnya memang kandas-ia mendirikan Batagor Cuplis. "Kakek dan nenek mempunyai rumah makan dengan menu oriental food. Diantaranya siomay. Di sini saya melihat ada peluang. Saya berpikir, mengapa saya tidak kerjain aja. Jujur, saya mau mandiri. Dengan modal kecil tidak apa-apa, tetapi prospeknya saya lihat lumayan bagus," kata dia.
Resep siomay neneknya akhirnya ia otak-atik. Ia modifikasi dan justru yang terwujud kemudian dalah resep bakso, tahu, goreng (batagor). Setelah ia cukup yakin akan resep batagornya, ia menginvestasikan tabungan Rp10 juta untuk membuka usaha ini. Selain membuka outlet di depan rumah, ia juga menyalurkan batagor bikinannya lewat berbagai supermarket, antara lain di Hypermarket Superindo dan Hypermarket Carrefour.
Menurut Sugieharto yang akrab disapa Ato, selama ini batagor dikenal sebagai makanan khas Bandung. Tetapi di tangan Ato, batagor disesuaikan dengan lidah Indonesia sehingga batagor menurut dia harus bisa tersedia dimana-mana di negeri ini. "Batagor adalah makanan yang unik. Dia bisa jadi cemilan tetapi bisa juga sebagai lauk. Bahkan juga bisa sebagai pengganti makanan berat," tutur Ato.
Agar batagornya mempunyai positioning yang baik di pasar, ia membuat produk premium dengan harga Rp12 ribu per porsi. Kekhasannya adalah potongan batagornya yang besar dengan sambal yang unik. Sebanyak 46 outletnya itu kini tersebar di Jabodetabek. Sebagian terbesar dikelola sendiri tetapi ada juga yang bekerjasama dengan pihak lain. Ia juga mempersiapkan sistem waralaba untuk mengembangkan sayap termasuk berekspansi ke kota Surabaya.
Walau Sugieharto sudah yakin pada pilihannya sebagai pengusaha, ternyata ia masih tetap menganut old wisdom yang kini banyak digugat. Menurut dia, idealnya seseorang setelah menduduki bangku kuliah, bekerja dulu sebagai karyawan. "Cari pengalaman sebanyak mungkin. Dari sana akan tahu bagaimana bisnis secara rinci, bagaimana menghadapi pelanggan, bagaimana deal dengan pemasok dan sebagainya," tutur Ato.
Di sisi lain, Ato juga mengakui bangku kuliah bukan satu-satunya tempat belajar apa saja. Dari kampus, menurut dia, yang dia pelajari dan sangat berguna dalam berbisnis adalah pengalaman bersosialisasi. "Dari sosialisasi dengan teman-teman kita menjalin network. Contohnya, teman-teman se-kampus saya dulu sekarang sudah ada yang terjun ke dunia bisnis dan punya usaha sendiri. Ada yang jadi kepala cabang bank. Ada yang bekerja di perusahaan multinasional. Ini jadi network buat saya dan membantu untuk bisnis. Kalau ilmu manajemen, saya kira bangku kuliah hanya mengajarkan basic-nya saja," tutur dia.
Namun guru yang tak kalah penting bagi dia adalah kedua orang-tuanya. "Ada banyak prinsip-prinsip mereka. Tidak semuanya baik, Yang buruk saya Luang. Misalnya, prinsip tentang pentingnya kejujuran, nama baik dan keuletan masih terus berlaku sampai Semarang. Tetapi tentang cara berpikir yang sudah agak kuno, mungkin perlu diperbaiki," kata Ato, yang cita-citanya sudah sejak kecil adalah jadi orang yang berguna bagi sesama dan dapat hidup berkecukupan.