Mukjizat Terjadi Setelah Divonis Lumpuh & Meninggal

Family / 13 August 2008

Kalangan Sendiri

Mukjizat Terjadi Setelah Divonis Lumpuh & Meninggal

Puji Astuti Official Writer
11633

Aku tak pernah mengira bahwa satu waktu dalam hidupku aku akan menjadi orang yang tidak berguna. Pada saat usia kehamilanku mencapai 2 bulan, aku mengalami pendarahan. Sejak kejadian itu, dokter menyatakan bahwa aku mengalami sakit yang aneh. Seluruh badanku memang terasa sakit dan menurut analisa dokter, aku mengalami  infeksi kandungan karena waktu dikuret tidak bersih. Obat demi obat sudah aku minum tetapi aku tidak kunjung sembuh. Aku mencoba mendapatkan diagnosa dari berbagai dokter. Namun tidak ada kepastian mengenai penyakit yang aku derita.

Satu kali, aku ingin membuatkan anakku Indomie rebus. Jadi, aku tuang air panas dari termos ke atas mangkok berisi Indomie, yang aku taruh di atas pangkuanku. Saat air panas dituang, mangkok sedikit goyang dan mengenai pahaku. Aku pun bergerak refleks tetapi air panas itu malah tumpah semua dan mangkok pun jatuh ke lantai. Karena peristiwa itu, aku merasa kesakitan dan shock. Sebagai seorang mama, aku merasa tidak berguna karena untuk menyiapkan Indomie rebus buat anakku saja, aku tidak mampu. Jadi, untuk apalagi aku hidup?

Beberapa waktu kemudian, seorang temanku merekomendasikan nama seorang dokter spesialis tulang yang sangat terkenal dan dengan berbekal informasi ini, aku memberanikan diri sekali lagi pergi ke dokter. Aku berharap aku bisa bebas dari penderitaan yang sudah berjalan selama 2 tahun ini. Namun sebuah kenyataan yang sangat menyakitkan justru aku terima. "Kedua tulang pinggul Ibu Lily sudah rusak dan hancur. Ibu mengalami osteoporosis dan tulang sendi yang berbentuk bulat pun sudah tidak ada bantalannya lagi karena remuk", kata dokter spesialis itu kepadaku dan suamiku.

Dokter menyarankan, agar tulang panggulku segera dipotong dan diganti dengan tulang dari bahan titanium. Untuk itu, aku harus menjalani operasi yang menelan biaya hampir Rp. 200 juta!  Masih menurut dokter, pasca operasi, si pasien kemungkinan besar akan lumpuh total dan bahkan pada akhirnya meninggal muda. Dokter lalu melanjutkan penjelasannya: "Kalau untuk penyembuhan seperti ini sangat sulit. Bahkan pengobatan yang bertahun-tahun pun belum tentu membawa kesembuhan bagi si pasien. Apalagi, si pasien harus diberikan suntikan yang berkali-kali. Menurut prediksi saya, sudah paling top bila Ibu Lily bisa mencapai umur 38 tahun".

Penuturan dokter membuatku seakan-akan tahu hari kematianku dan aku tidak punya harapan lagi untuk bisa hidup. Hanya di dalam doa, aku bisa berseru kepada Tuhan: "Aku akan meninggalkan anak-anakku. Namun kenapa Engkau, Tuhan mau mengambilku yang masih harus mendidik dan membesarkan anak-anaku? Aku ingin hidup lebih lama karena tugasku di dunia belum selesai..."  Walaupun aku tahu bahwa aku bakalan lumpuh dari mulai pinggul dan merembet hingga ke tulang belakang, aku tetap masih menyimpan harapan kepada Tuhan.

Atas permintaanku, suamiku membelikan aku sebuah lukisan Yesus dan menempelkannya pada dinding kamar kami. Lukisan itu mengingatkan aku akan kebaikan Tuhan dalam hidupku dan aku teringat kembali akan firman Tuhan yang sudah pernah aku dengar bahwa Tuhan sanggup menyembuhkanku. Aku merasa bersalah selama ini karena aku tidak percaya dan aku meninggalkan Tuhan.

Sampai satu hari, seorang teman suamiku datang ke rumah dan menawari 2 tiket untuk hadir di ibadah kesembuhan di Ancol oleh hamba Tuhan dari luar negeri, yang luar biasa dan sudah ditunggu-tunggu banyak orang. Akhirnya kami ambil tiket itu dan bersama-sama pergi ke sana. Namun di sana aku malah ditaruh di kumpulan orang-orang yang memakai kursi roda. Dalam hati aku mengeluh: "Aduh, koq seperti ini, ya. Aku masih muda tapi koq udah parah banget." Malam itu, aku tidak menerima kesembuhan dan aku pulang ke rumah dengan badan yang cape dan lemas.

Hari kedua aku tidak mau datang karena merasa kecewa dan aku merasa Tuhan tidak sayang padaku. Suami sempat bingung karena aku tidak mau pergi. Namun teman-teman kami terus berusaha membujuk. Mereka berdoa dan mengatakan bahwa masih ada peluang di hari ketiga, yaitu esok harinya. Seorang hamba Tuhan bahkan bernubuat: "Kamu harus datang karena kamu pasti disembuhkan pada hari ketiga," katanya. Aku pun semangat lagi dan yakin bahwa hari terakhir adalah kesempatan terakhir bagiku.

Keesokan harinya kami pergi ke ibadah kesembuhan dan pada pukul 4 sore, seorang nenek mendekati kami dan menanyai suamiku. Suamiku kemudian menjelaskan bahwa aku adalah istrinya dan bahwa seluruh sendiku terasa ngilu dan tidak bisa digerakkan lagi. Lalu sang nenek bersimpuh di dekat kakiku dan berdoa. Dalam doanya, ia mengatakan bahwa Tuhan sanggup melakukan mukjizat dan Tuhan sanggup membangkitkan orang yang lumpuh. Doanya benar-benar membuatku yakin bahwa Tuhan sanggup sembuhkan aku dan pada saat itu di pikiranku sama sekali tidak ada keraguan. Seperti orang normal yang diperintahkan untuk berdiri, aku lalu mencoba berdiri dan aku bisa berdiri tanpa rasa sakit!

Lalu si nenek menantang aku untuk terus berjalan dan berjalan. Puji Tuhan! Setiap langkah aku berkata: "Puji Tuhan. Tuhan luar biasa, Tuhan dahsyat!" Aku benar-benar merasakan Tuhan itu ada dan Tuhan itu ajaib. Ketika aku pergi ke dokter, ia merasa kagum dan kaget melihat aku bisa sembuh. "Saya turut berbahagia dan saya yakin semua berkat Tuhan Yesus," ujar dokter yang memeriksaku. Suamiku pun merasakan sukacita yang aku rasakan: "Sebagai seorang suami melihat pendamping hidup saya sudah sembuh, saya senang sekali. Kehidupan saya sebagai suami jadi normal kembali. Apalagi, Tuhan mengizinkan istri saya bisa bekerja kembali dan keluarga juga bisa diberkati". 

Bagiku, kebaikan Tuhan itu luar biasa. Kalau dulu aku berharap kepada manusia tetapi ternyata aku salah. Ternyata cuma Tuhan Yesus yang bisa sembuhkan kita dan memberikan mukjizat yang luar biasa. Dan bahwa hanya Tuhan Yesus saja yang bisa  melakukan perkara yang luar biasa! (Kisah ini sudah ditayangkan 14 Juli  2008 dalam acara Solusi di SCTV)

Sumber kesaksian:

Lily Sugiarto

Sumber : V080812170947
Halaman :
1

Ikuti Kami