Siapa Yang Seharusnya Memulai?

Single / 29 September 2007

Kalangan Sendiri

Siapa Yang Seharusnya Memulai?

Fifi Official Writer
11557

Kita sudah banyak mendengar, atau bahkan mungkin pernah mengalami, bahwa hubungan di antara pria dan wanita belakangan ini menjadi semakin kacau dan tidak jelas. Kepemimpinan dari pria jarang ditemukan, dan hal ini disebabkan karena para pria menghadapi sebuah budaya dimana mereka sendiri tidak yakin apakah mereka memang seharusnya memimpin dan juga tidak tahu apa arti dari kepemimpinan itu sendiri. Sementara kaum wanita berada dalam kebingungan memilih apakah mereka harus bersikap pasif, hanya menunggu dengan rasa frustasi, atau bertindak agresif dengan mengambil alih peran kepemimpinan itu.

 

Artikel ini tidak membahas mengenai langkah-langkah yang akan menuntun anda pada keberhasilan dalam hubungan cinta, bukan pula jaminan keberhasilan jika anda mengikuti semua tipsnya. Ini adalah sebuah pengalaman dan belum tentu sesuai untuk semua orang. Namun kami yakin bahwa anda dapat menarik pelajaran dari  pengalaman ini, bagaimana pria dan wanita berusaha keras mengemudikan arah dari hubungan percintaan di tengah budaya romantisme yang tidak jelas. Secara khusus, ini adalah kisah seorang wanita Kristen yang mencari jalan untuk menghindari baik bersikap pasif maupun agresif, dan seorang pria Kristen yang akhirnya menyadari (dengan bantuan dan tantangan dari wanita tadi) peran kepemimpinannya.

 

Dalam sebuah relationship, seorang pria seharusnya menjadi pemimpin, yang mengambil inisiatif, dan memulai langkah-langkah menuju pernikahan. Jadi saya memutuskan untuk mendengarkan Mary Morken, "mak comblang" modern yang saya temui pada saat retret kampus. Sebelumnya saya meganggap bahwa "mempercayai tuhan dengan segenap hati" dan "carilah dahulu kerajaanNya" sudah cukup. Mary memang meyakinkan saya bahwa 2 hal itu memang penting dan sangat mendasar. Tapi dia tidak berhenti sampai di situ. Dalam menjawab pertanyaan saya, dia merujuk pada karakter Rut di alkitab. "Ruth hidup dalam masyarakat yang kebersamaannya kuat, dimana pihak keluarga terlibat dalam pekerjaan Tuhan untuk menyatukan sepasang pria dan wanita," kata Mary. "Di masa kita sekarang, struktur dan dukungan sosial memang kurang. Kita bahkan tidak tahu apakah gambaran tentang pernikahan dari calon pasangan potensial sama seperti gambaran kita juga."  

 

"Berbicara tentang pernikahan, jangan takut untuk menikah, kalian adalah pria dan wanitanya Tuhan, adalah wajar dan sudah seharusnya jika kalian ingin menikah dan termotivasi untuk melakukan usaha-usaha guna mencapainya," katanya. Kami sedikit terkejut karena pernyataannya yang tidak biasa itu. Kami juga menyadari bahwa kami belum sukses melakukannya dengan cara yang kami tahu. Kebanyakan pria dalam hidup kami telah menyerap budaya "pop" lewat film, majalah, dan musik yang membawa pesan anti-pernikahan. Tentu saja semua itu pro-romantisme, pro-seks bebas, bahkan pro-pacaran, tapi hampir semuanya selalu di luar perjanjian pernikahan. Pesan semacam itu tidak menyolok, namun sangat kuat. Karena itu tidak mengherankan jika para pria, bahkan pria Kristen, menjadi lambat dalam perjalanan menuju komitmen seumur hidup.

Para pria yang kami tahu kebanyakan bersikap pasif, jadi jika kami juga bersikap pasif, hubungan ini tidak akan mengarah kemana-mana. "Bunga diciptakan untuk mekar dan dilihat serta diketahui," kata Mary. "Saya tidak melihat ada kata-kata di alkitab yang melarang seorang wanita mengungkapkan perasaannya, tidak ada tulisan yang mengatakan bahwa dia hanya bisa merespon ajakan pria," sambungnya. "Wanita mempunyai keuntungan saat harus berurusan dengan kemampuan verbal, dan mereka dapat membawa pemulihan serta motivasi kepada pria terdekat untuk melakukan inisiatif lebih lagi."

Saya siap untuk menerima tantangan itu. Saya sering mendengar bahwa jalan menuju kepada hati seorang pria adalah melalui perutnya. Jadi saya mengadakan pesta makan malam dengan sekaligus mengundang Mary Morkens dan Steve Watters. Mary sangat cerdik dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat kami mengungkapkan rencana masing-masing, seperti apa yang akan kami lakukan dan kemana kami akan pergi setelah lulus, dan kemungkinan apakah kami akan menuju ke tempat yang sama. Sambil bercakap-cakap, Steve menikmati masakan dan kue yang saya buat.

Makanan dan percakapan itu berhasil. Setelah Mary Morkens pulang, pada saat saya dan Steve sedang mencuci piring-piring, Steve bertanya, "Ada sesuatu di antara kita bukan?" Saya terkejut sekaligus kagum. Terkejut karena akhirnya dia menyadarinya dan kagum karena dia mempunyai keberanian untuk mengakuinya. Setelah itu kami membicarakan mengenai persahabatan kami dan semua alasan yang terpikir mengapa kami akan menjadi pasangan yang tepat bagi satu sama lain. Steve juga membicarakan keraguan dan pikirannya, tentang bagaimana saya berbeda dari gadis-gadis lain yang pernah dekat dengannya. Namun itu bukan percakapan final, karena Steve berkata, "Aku masih tidak yakin ke mana arah hubungan kita dari sini...". Namun itu adalah sebuah awal, dan sejak itu saya terus berdoa dan berharap.     

Doa mempunyai peranan yang sangat penting dalam hubungan kami ini. Karena Steve belum membuat komitmen apapun dengan saya, saya tidak bisa membagi rahasia hati saya dengannya, saya harus bersandar pada Tuhan. Sejak saat itu buku harian saya diisi dengan doa-doa meminta kesabaran, iman, dan juga kehendakNya. Meskipun saya menginginkan Steve, namun jauh lebih besar keinginan saya akan kehendakNya untuk saya. Jadi saya berdoa, berharap Steve ada dalam rencanaNya, namun jika tidak, saya minta agar Dia akan mengubah keinginan hati saya. 

Dua setengah bulan berlalu setelah percakapan itu, dan masih tidak ada kejelasan. Saya menjadi tidak sabar, saya pikir ini sudah waktunya untuk bertindak. Dalam perjalanan kami ke kampus, saya berkata pada Steve, "Steve, aku ingin menikah dan aku berharap orangnya adalah kau. Tapi kalau bukan, maka kita perlu berhenti menghabiskan waktu bersama. Karena jika ini terus berlangsung, tidak akan ada seorang pun yang akan mengajakku membina hubungan, orang-orang mengira kita sedang pacaran. Aku perlu mendengar pendapatmu, menurutmu hubungan jenis apakah yang sedang kita jalani?" jantung saya berdetak lebih cepat. Saya ingin Steve menyatakannya dengan resmi, agar saya yakin bahwa saya tidak membuang hari-hari berharga saya untuk sesuatu yang tidak jelas arahnya. "Kalau kamu tidak siap untuk menyatakan niatmu, maka kamu tidak lagi mempunyai akses kepada waktuku, perhatian, atau persahabatan seperti ini." Saya sedang meminta dia untuk memimpin. Saya serius dengan niat saya untuk menjauh darinya dan dia tahu itu.

Kami setuju untuk berpisah dan bertemu kembali pada sore harinya untuk membicarakan ini. Saya menghabiskan waktu berpikir dan berdoa, meminta Tuhan untuk memberi Steve keberanian dan membuka hatinya untuk cinta. Saya tahu dengan segala keberadaan saya bahwa kami akan menjadi pasangan yang tepat. Tapi saya juga tahu bahwa hubungan yang tidak jelas seperti ini tidak akan membawa saya ke mana-mana. Jadi saya juga berdoa meminta kekuatan untuk terus berjalan jika Steve mengatakan tidak. Steve menjemput saya setelah makan malam dan kami berjalan kaki di sekitar danau dekat kampus. Saya gugup dan tangan saya gemetar, saya tidak dapat menebak apa yang akan dia katakan, dia tidak memberikan saya petunjuk apapun. Saya dapat mengingat keseriusan pandangan matanya saat dia mengatakan "ya".     

Tuhan menjawab doa saya hari itu. Steve membuka hatinya dan dengan nasehat dari Mary Morkens, dia membiarkan cinta tumbuh di antara kami. Terasa sedikit aneh saat menjalani perubahan hubungan dari persahabatan ke hubungan cinta, tapi Mary tetap mendampingi kami dengan nasehat-nasehat bijaknya selama proses itu. Hari untuk merayakan semua itu datang ketika, 6 bulan kemudian, Steve berlutut di sebuah kebun kecil di Williamsburg, dan meminta saya untuk menjadi istrinya. Pada saat itulah giliran saya untuk mengatakan "ya".

Sumber : boundless
Halaman :
1

Ikuti Kami