JAWABAN.com - Berita gembira bagi para warga keturunan yang masih berjuang untuk mendapatkan status kewarganegaraannya (WNI). UU Kewarganegaraan RI yang kemarin disahkan dalam rapat paripurna DPR telah menghapus diskriminasi bagi para etnis keturunan yang selama ini menghantui mereka dalam mengurus status.
Keturunan langsung dari para WNI keturunan yang maksimal hanya memegang SBKRI (surat bukti kewarganegaraan RI) kini otomatis menjadi WNI. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan WNI pribumi.
Ketua Pansus RUU Kewarganegaraan Slamet Effendy Yusuf mengatakan, UU baru ini merupakan salah satu produk fenomenal yang dilahirkan DPR. Selain menghapus diskriminasi etnis, UU ini benar-benar memperhatikan kesetaraan gender.
Salah satu poin penting adalah menyangkut siapa yang disebut warga negara Indonesia. Slamet menjelaskan, UU Kewarganegaraan tetap mengacu pada pasal 26 UUD 1945. Disebutkan "Yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara".
"Dalam pasal 2 UU Kewarganegaraan, penjelasan soal siapa yang dimaksud sebagai bangsa Indonesia asli ini kita paparkan," ujar anggota Fraksi Partai Golkar ini.
Secara tegas UU Kewarganegaraan menyebutkan: Yang dimaksud bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi WNI sejak kelahirannya. Dan, tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.
Ini sangat berbeda dengan pengertian bangsa Indonesia asli yang tercantum dalam UU No 62/ 1958. Di dalamnya disebutkan bahwa bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang berasal dari etnis asli Indonesia. "UU baru ini otomatis menghapus diskriminasi etnis yang selama ini terjadi di Indonesia," ujarnya.
Hal senada diungkapkan anggota FPDI Perjuangan Murdaya Poo. "Salah satu kesepakatan semua fraksi di DPR memang menolak adanya diskriminasi etnis terhadap warga negara. Termasuk etnis Tionghoa," ujarnya.
Dengan pengertian yang tercantum di pasal 2 UU Kewarganegaraan itu, kata Murdaya, bisa diartikan semua anak WNI keturunan baik dari etnis mana pun, seperti Tionghoa, Arab, atau bangsa lain yang lahir di Indonesia otomatis disebut sebagai bangsa Indonesia asli. "Dengan adanya UU ini, otomatis tidak perlu ada lagi SBKRI," papar politikus keturunan Tionghoa ini.
Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin yang hadir dalam rapat paripurna menyebut UU Kewarganegaraan tergolong sangat progresif. Sejumlah poin memberi banyak kelonggaran untuk menjadi seorang WNI. Salah satunya, kata Hamid, UU ini memperbolehkan kewarganegaraan ganda bagi seorang anak dari hasil perkawinan campuran, hingga mencapai usia 18 tahun atau telah menikah.
"Termasuk, perkawinan perempuan Indonesia dengan orang asing. Maka, si perempuan tidak otomatis gugur kewarganegaraannya usai perkawinan sebagaimana selama ini berlaku," papar Hamid usai menghadiri sidang paripurna DPR.
UU Kewarganegaraan ini dibahas lebih dari satu tahun, tepatnya sejak 31 Mei 2005. Dengan disahkannya UU Kewarganegaraan ini, UU Nomor 62 Tahun 1958 yang selama ini mengatur soal kewarganegaraan Indonesia otomatis tidak berlaku lagi.
Sementara itu, Juru Bicara FPDS Jansen Hutasoit mengatakan, UU kewarganegaraan merupakan solusi atas polemik SBKRI yang selama ini dikeluhkan WNI etnis keturunan. "UU ini mengatasi persoalan SBKRI yang selama ini dipermasalahkan," katanya.
Selain progresif dalam hasil, pembahasan RUU Kewarganegaraan sendiri tergolong sangat revolusioner. Juru Bicara FKB Nursjahbani Katjasungkana mengatakan, jika selama ini rapat panja (panitia kerja) dilakukan secara tertutup, tidak demikian halnya dengan panja RUU Kewarganegaraan. "Semoga langkah terbuka di pansus ini dapat diadopsi pansus lain dengan menggelar rapat panja secara terbuka," katanya.
Meski mendapat penilaian cukup positif, pengesahan UU Kewarganegaraan ini tetap tak lepas dari pihak yang menentangnya. Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) menilai UU Kewarganegaraan masih diskriminatif terhadap kaum perempuan. Para aktivis perempuan ini sempat melakukan aksi demo di lingkungan DPR.
Terlepas adanya pihak penentang atau pun yang mendukung. Masih perlu waktu untuk kita lihat bersama bagaimana penerapannya di instansi-intansi pemerintah yang terkait di daerah-daerah. Jangan sampai cuma sekedar wacana saja tanpa disertai perombakan total mekanisme administratif yang selama ini penuh dengan KKN, karena hasilnya akan nihil.(joe)