Kisah Nyata Wanita yang Tutup Rapat Perselingkuhannya 16 Tahun

Family / 9 April 2013

Kalangan Sendiri

Kisah Nyata Wanita yang Tutup Rapat Perselingkuhannya 16 Tahun

Yenny Kartika Official Writer
699986

Konon, asmara itu datang bagaikan pencuri, datangnya tak diduga, perginya pun tak disangka. Inilah kisah perselingkuhan saya.

 

Saya berkenalan dengan pria ini melalui telepon nyasar di kantor. Pria ini mencari temannya yang sebetulnya tak ada di ruangan saya. Telepon salah sambung itu menjadi awal perkenalan kami. Kami pun janjian bertemu, dan sejak saat itu hubungan kami makin erat.

Sejak awal pertemuan, saya tahu status dia: dia adalah seorang pria yang sudah beristri. Padahal, pada saat yang bersamaan saya juga sedang menjalin hubungan dengan pacar saya…

Suatu kali saya dan pria beristri makan malam bersama. Selesai makan, dia mengajak saya pergi ke sebuah tempat. Saya sudah menangkap maksudnya saat itu. Tanpa merasa terpaksa sedikitpun, saya menyetujui untuk berhubungan suami-istri dengannya. Alasannya sederhana saja: saya tidak ingin kehilangan kasih sayang yang saya dapatkan darinya.

***

Waktu terus bergulir. Hari demi hari saya lewati dengan menjalin hubungan bersama 2 orang sekaligus: pacar saya dan pria beristri beranak dua.

Demi masa depan, saya ingin memperoleh status menikah. Tentu saja, semua orang mengharapkan status itu, bukan? Saya menikah dengan pacar saya, karena tidak mungkin saya menikahi pria yang sudah punya istri.

Tanpa suami saya ketahui, sebetulnya di dalam hati saya selalu memikirkan si pria beristri tersebut. Pria ini mampu membuat saya merasa spesial, karena dia begitu perhatian. Salah satu bentuk perhatiannya adalah sebuah kalung yang ia berikan kepada saya. Di sisi lain, suami saya justru tipe orang yang cuek dan lebih suka bekerja. Jika saya meminta pendapat kepada suami, dia tidak pernah mendengarkan. Suami saya memiliki pola pikir bahwa istri dan anak itu sudah tercukupi kebutuhannya selama ada uang yang ia hasilkan.

Dalam batin, saya kadang suka menyesal, “Aduh, kenapa bukan pria beristri itu yang menjadi suami saya?”

***

Memasuki usia pernikahan belasan tahun, hubungan kami sebagai pasangan suami istri semakin dingin—rasanya sulit sekali untuk dapat dipertahankan. Kami tidak pernah berhubungan suami-istri dari hati ke hati. Saya enggan melayani dia.

Suatu kali, sebuah pertengkaran besar melanda bahtera rumah tangga kami. Saya memarahi anak kami karena dia tidak mau membereskan mainan yang berantakan di rumah. Saat itu suami kebetulan mendengar, dan menurut dia kata-kata saya sebagai ibu terlalu kasar. Saya emosi, suamipun ikutan emosi. Segala macam makian kami lontarkan. Saya serang suami saya—saya katakan bahwa ia terlalu sibuk bekerja sampai-sampai tidak bisa mengurus anak. Murka suami pun tidak terhindarkan lagi, dan ia melemparkan gelas kepada saya, namun tidak kena. Di titik itulah rumah tangga kami sepertinya sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Suami ingin mengakhiri hubungannya denganku!

***

Suami saya menghabiskan waktunya dengan menenggak minuman keras. Bagi dia, minuman itu adalah sahabat sejatinya—yang bisa menjadi pelipur laranya.

Sementara itu, saya dan selingkuhan tetap berhubungan satu sama lain. Dihitung-hitung, sudah 15 tahun lamanya saya membohongi semua orang dengan hubungan gelap ini.

Sampai tibalah suatu hari yang tak pernah saya bayangkan.

Hari itu adalah hari Jumat. Entah mengapa, terbersit suatu rasa yang aneh dalam hati—rasa takut kehilangan selingkuhan saya. Saya tak mampu fokus dengan keadaan di rumah. Yang saya pikirkan hanya selingkuhan saya.

Pukul 11.30 saya menghubungi telepon si selingkuhan, namun tidak ada jawaban.

Rasa penasaran menyeruak. Saya hubungi kantornya. Yang mengangkat telepon adalah sekretarisnya. Apa yang dia katakan kepada saya sungguh di luar dugaan: dia bilang selingkuhan saya itu mengalami kecelakaan dan sudah meninggal sepuluh menit yang lalu.

“Tidak mungkin!” teriak saya.

Dunia seakan runtuh. Tuhan itu tidak adil. Mengapa Dia merampas seseorang yang begitu berharga dalam kehidupan saya?

***

Hidup saya terus berjalan, tetapi yang ada di hati saya hanyalah kekosongan belaka. Walaupun secara fisik saya berada di rumah bersama suami dan anak-anak, pikiran saya hampa.

Saya sudah tidak ingin hidup di dunia ini lagi.

***

Suatu hari, saya datang ke sebuah pertemuan. Pembicara yang ada di situ mengutip isi Alkitab yang bunyinya demikian: “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” (Wahyu 3:19).

Heran, mengapa ucapan itu sepertinya ditujukan tepat kepada saya. Apalagi ketika lagu “Allah Peduli” dilantunkan. Allah mengerti, Allah peduli, segala persoalan yang kita hadapi… Sungguh, saya tidak bisa menahan air mata. Karena tidak tahan, saya bahkan sampai pingsan.

Di hari lain, pihak gereja mengajak kami untuk ikut sebuah retreat. Saya mengajak suami saya, dan untungnya dia mau.

Dalam sebuah sesi, pembicara menyampaikan firman Tuhan yang berisi perumpaan seorang perempuan berzinah. Begini ceritanya: “Seorang perempuan tertangkap basah telah berzinah. Orang-orang hendak melempari perempuan ini dengan batu. Tetapi Yesus datang ke tengah kerumunan orang banyak itu lalu berkata, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu”.

Saya terkesima mendengarnya. Saya jadi merasa yakin bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan suatu pertobatan. Maka saya pun memberanikan diri untuk maju ke depan.

Saya ceritakan apa adanya kepada semua hadirin yang ada di situ, “Saya telah berselingkuh selama 16 tahun pernikahan saya.” Saya lihat wajah suami yang duduk di bangku, dia tampak sangat syok. Saya melanjutkan, “Tapi kini Tuhan telah membuka hati saya. Saya telah menyadari semua kesalahan saya selama ini.”

Semua orang yang hadir di situ kaget juga.

Kemudian, suami saya disuruh maju ke depan. Dia hanya diam seribu bahasa.

Pembicara mendoakan kami berdua.

***

Pengakuan di kala itu telah membuat hatiku lega. Tetapi aku tidak memperkirakan bahwa suatu masalah baru akan muncul…

Rupanya suami belum mengampuniku. Selesai retreat, kami bertengkar hebat di rumah. Suami mencecarku habis-habisan. Dia bertanya, dengan siapa saya berselingkuh, siapa namanya, bagaimana cara kami berkenalan, kapan kami bertemu, dan lain-lain. Saya tidak menjawab, hanya bisa menangis.

Emosi suami makin meledak. Lemari pun tak luput dari hantaman tinjunya.

Saya mencoba membela diri dengan menjelaskan bahwa pria itu toh sudah meninggal, jadi buat apa dibahas lagi?! Tetapi suami tidak mau tahu. Dia ingin saya menjelaskan semuanya.

Saya tak tahan lagi. Saya menghubungi pembimbing rohani saya.

Saat kedua pembimbing saya datang ke rumah, keadaan makin kacau. Suami sudah menyiapkan koper. Rupanya dia mau kabur—dia minta cerai dari saya.

Pembimbing rohani saya segera mencegah langkah suami. “Ingatlah Pak, bahwa dalam segala sesuatu kita harus melibatkan Tuhan,” begitu kata pembimbing saya.

Suami pergi ke kamar. Dia mengurung diri di sana. Keadaan semakin runyam. Saya hanya bisa berserah kepada Tuhan.

Tak lama kemudian suami keluar dari kamar, menuju ruang tamu. Ia berlutut dan menghampiri saya. “Ada apa ini?” pikirku keheranan.

“Ma, aku minta maaf.. selama ini akulah yang menjadi penyebab masalah ini…,” ucapnya sambil berlinangan air mata. Dia lalu memeluk saya.

Meskipun terkejut, saya bersyukur. Kami pun melakukan rekonsiliasi.

***

Belakangan saya baru tahu, bahwa di kamar pada waktu itu, suami saya berdoa kepada Tuhan. Dia memohon Tuhan memberikan kekuatan kepadanya untuk bisa mengampuni saya—sesuai dengan perintah Tuhan bahwa kita harus mengampuni orang lain sebanyak 70 x 7 kali.

Ternyata, suami saya juga diingatkan akan kisah perempuan berzinah yang hendak dilempari batu. Kisah itulah yang membuat ia tersadar bahwa iapun orang berdosa—jadi bagaimana mungkin ia bisa menolak untuk mengampuni saya.

Kini, keadaan berubah 180 derajat. Inilah pernikahan yang saya idam-idamkan sejak dulu. Suami saya berperan sebagai imam yang baik. Saya akui, bahwa kini dia lebih meluangkan waktu bagi saya dan anak-anak.

Menurut suami, sayapun mengalami perubahan. Kata-kata saya tidak lagi kasar dan menyakitkan.

Suami dan saya merasakan kasih yang lebih besar di antara kami, lebih daripada sebelumnya. Sungguh luar biasa. Tuhan memang sanggup mengerjakan kemustahilan di dalam hidup ini.

 

Sumber Kesaksian:

Lina Siuriasih dan Harry (suami Lina)



BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA:

Kisah Nyata Penyanyi yang Anggap Dirinya Hitam dan Bodoh

Kisah Pencari Sorga, Mulai di Kuburan Hingga Berguru pada Dukun

Kisah Nyata Satu Keluarga yang Selamat dari Tsunami Aceh

Kisah Nyata Catherine si Model Cantik: Ada Harga Mahal yang Harus Kubayar

Kisah Nyata Terlilit Hutang Hingga Ingin Jual Ginjal

Sumber : V130408153747
Halaman :
1

Ikuti Kami