Nenek Temple Grandin, Penderita Autisme yang Menjadi Profesor

Serba-Serbi Sehat / 9 April 2012

Kalangan Sendiri

Nenek Temple Grandin, Penderita Autisme yang Menjadi Profesor

Budhi Marpaung Official Writer
5562

Tidak ada yang menyangka jika Temple Grandin, 64 tahun, akan menjadi seorang pakar ilmu hewan pada saat ini. Didiagnosis autisme, wanita yang lahir di Boston, Amerika Serikat tersebut dianggap tidak akan dapat memiliki kehidupan normal seperti orang lainnya.

Saat kecil, sang ayah berencana menempatkan Temple ke institusi yang khusus bagi anak-anak autis. Namun, ibunya, Eustacia, berpendapat lain. Ibunya percaya dengan interaksi yang cukup, putri sulungnya itu dapat dilatih untuk belajar berperilaku normal.  

Oleh sebab itu, Temple dikirimkan ke terapi wicara dan menyewakan pengasuh untuk menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk bermain game dengannya.

"Ketika saya masih sangat muda, saya tidak berbicara, tidak memperhatikan atau melakukan kontak mata sama sekali. Saya hanya akan bersenandung sendiri dan menggiring bola pasir di tangan," kenang Temple sebagaimana dikutip detikhealth, Senin (02/04).

Pada usia 5 tahun, tambah dia, sang ibu mengajarkan dengan sedikit memaksa untuk dapat menempatkan serbet di pangkuan, lalu menata sendok dan garpu dengan benar. Perlahan tetapi pasti, tindakan orangtuanya tersebut membawa kemajuan bagi diri Temple.

"Jika Anda tidak menekan sedikit, maka tidak akan ada kemajuan apapun," jelasnya.

Temple kemudian disekolahkan ke sekolah swasta yang memberinya perhatian lebih ketimbang sekolah negeri. Akan tetapi sekolah tetap tidak menyenangkan baginya. Meski begitu, ada satu kelas yang benar-benar membuatnya merasa senang, yaitu kelas berkuda dan laboratorium ilmu pengetahuan.

Tinggal bersama bibinya di kawasan peternakan membuat Temple menemukan empati manusianya yang hilang. Bersamaan dengan itu, pemahaman akan hewan juga semakin luar biasa. Ia dapat merasakan ikatan khusus dengan ternak, yang membuatnya merasa lebih damai ketimbang harus berinteraksi dengan orang lain.

Ia menemukan bahwa sapi sama seperti dirinya, resah dengan suara dan gerakan yang tak terduga. Namun dengan tekanan yang sesuai, sapi dapat tenang saat dilakukan pemerahan susu atau vaksinasi. Terpesona dengan kondisi itu, Temple membujuk bibinya agar diperbolehkan mencoba memerah sapi. Hasilnya sangat dramatis, hal itu dapat memenangkan saraf Temple.

Dengan berpikiran ilmiah, Temple menciptakan 'mesin tekan' (squeeze machine) darurat sendiri. Lewat alat ini, hewan-hewan dapat dikendalikan menjadi tenang apabila mereka memperlihatkan diri sedang gusar.

Lulus dari jurusan psikologi Franklin Pierce University di New Hampshire, ia akhirnya meneruskan pendidikan ke pascasarjana di Arizona State University. Disini lah Temple akhirnya menemukan suaranya, meneliti perilaku hewan dan bekerja di industri ternak sebagai bagian dari penelitian pascasarjananya.

Singkat kisah, Temple Grandin menyelesaikan seluruh pendidikan tingginya. Kini lebih dari setengah ternak di AS dan Kanada ditangani dengan fasilitas yang dirancang olehnya. Tidak hanya itu, ia sampai sekarang merupakan juru bicara autisme dan pengajar mahasiswa S3 di Colorado State University.

Profesor Temple Grandin membuktikan bahwa autisme bukanlah penghalang seseorang untuk berkarya di masyarakat. Dengan kesabaran dan kegigihan dari orang-orang terdekat dalam membuat mereka menjadi normal maka orang-orang spesial ini bisa memberikan sesuatu yang positif bagi dunia.

Sumber : detik health/budhianto marpaung
Halaman :
1

Ikuti Kami