Bagi banyak orang Kristen, keputusan untuk menikah bukanlah perkara yang mudah. Salah satu pertimbangan yang kerap muncul adalah apakah sebaiknya menikah setelah mapan secara finansial, atau justru memilih membangun rumah tangga sambil berjuang bersama dari awal?
Alkitab memang tidak memberikan jawaban eksplisit tentang waktu ideal untuk menikah berdasarkan kondisi ekonomi.
Namun, ada sejumlah prinsip dalam sudut pandang kekristenan yang dapat menjadi pedoman bagi kita dalam mengambil keputusan ini.
Pernikahan adalah Rencana Allah yang Kudus
Alkitab menegaskan bahwa pernikahan adalah rancangan Allah yang kudus. Dalam Kejadian 2:18, Tuhan Allah berfirman, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.”
Ini menunjukkan bahwa pernikahan adalah kemitraan antara dua pribadi yang saling menolong, menopang, dan bertumbuh dalam Tuhan.
Fokus utama pernikahan bukan pada kesiapan materi saja, tetapi juga kesiapan rohani, emosional, dan komitmen untuk membangun kehidupan bersama dalam kasih Kristus.
Baik pasangan yang sudah mapan maupun yang masih berjuang dari nol dapat mewujudkan pernikahan yang berkenan di hadapan Tuhan, selama mereka berjalan dalam kesatuan visi dan iman.
Kesiapan Pernikahan dalam Pandangan Kekristenan
Dalam 1 Korintus 7:8-9, Rasul Paulus menasehati bahwa jika seseorang tidak dapat mengendalikan diri, lebih baik ia menikah daripada jatuh dalam dosa. Ini menegaskan bahwa kesiapan rohani dan emosional juga perlu pertimbangan finansial.
Sementara itu, dalam Efesus 5:25-28, suami dipanggil untuk mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi jemaat. Ini adalah panggilan untuk memimpin dengan kasih, melindungi, dan mencukupi kebutuhan keluarga.
Oleh karena itu, beberapa pihak menafsirkan perlunya tanggung jawab dan arah hidup yang jelas sebelum menikah, terutama bagi pria.
Namun, banyak pasangan Kristen juga melihat nilai dalam memulai pernikahan dari titik nol. Pengkhotbah 4:9-10 menyebut bahwa dua orang lebih baik daripada satu, karena mereka memiliki upah yang baik untuk jerih payah mereka.
Artinya, berjuang bersama bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan kesempatan untuk bertumbuh dalam kasih, saling menopang dalam tantangan, dan bergantung penuh kepada penyertaan Tuhan.
Menikah Setelah Mapan atau Berjuang Bersama?
Menikah setelah mapan tentu membawa banyak nilai positif. Kestabilan finansial dapat memberikan rasa aman dan mengurangi tekanan awal dalam pernikahan, sehingga pasangan dapat lebih fokus pada relasi dan pelayanan.
Bahkan dalam 1 Timotius 5:8, Paulus menekankan pentingnya seseorang mencukupi kebutuhan keluarganya, suatu prinsip tanggung jawab yang tidak boleh diabaikan.
Namun, tantangannya terletak pada bagaimana definisi “mapan” bisa menjadi sangat relatif dan bahkan menjadi alasan untuk menunda pernikahan tanpa batas. Menunda pernikahan terlalu lama juga berisiko membawa pasangan pada godaan moral dan kelelahan emosional.
Sebaliknya, banyak pasangan Kristen yang memilih menikah lebih awal dan membangun kehidupan bersama dari bawah. Mereka percaya bahwa perjuangan bersama justru menguatkan relasi dan mempererat ikatan batin, terlebih jika dijalani dengan iman dan komunikasi yang sehat.
Meski demikian, tekanan ekonomi dan ketidakpastian masa depan tetap menjadi tantangan yang nyata. Tanpa kesiapan emosional dan pengelolaan yang baik, konflik bisa muncul.
Oleh karena itu, penting bagi pasangan untuk jujur terhadap kemampuan masing-masing dan realistis terhadap dinamika pernikahan yang akan dijalani.
Prinsip-Prinsip Alkitabiah yang Menjadi Panduan
Iman Kristen mengajarkan agar segala keputusan diambil dengan dasar pengandalan kepada Tuhan. Matius 6:33 menegaskan bahwa kita harus mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka segala sesuatu akan ditambahkan.
Firman Tuhan inilah yang menjadi fondasi utama bagi pasangan Kristen dalam memutuskan apakah akan menikah dalam keadaan mapan atau sambil berjuang bersama.
Matius 19:6 menekankan bahwa pernikahan adalah komitmen seumur hidup. Maka, ada yang lebih penting dari kondisi ekonomi semata, yaitu kesiapan untuk mengasihi, memaafkan, dan bertumbuh bersama dalam Tuhan.
Prinsip-prinsip inilah yang menjadi pegangan umat Kristen, agar pernikahan tidak hanya dibangun di atas fondasi materi, melainkan pada kasih yang sejati.
Dalam budaya Indonesia, tekanan untuk menikah saat sudah mapan, terutama bagi pria, cukup kuat.
Kesiapan finansial sangat penting sebagai bagian dari tanggung jawab dalam membangun rumah tangga, tetapi iman Kristen menekankan bahwa kesiapan rohani, emosional, dan integritas tidak kalah pentingnya.
Gereja-gereja sering mendorong pasangan untuk mengikuti konseling pranikah guna menilai kesiapan dari berbagai aspek, termasuk visi hidup bersama.
Dan yang terpenting, setiap keputusan besar seperti menikah sebaiknya dibawa dalam doa, sambil terus meminta hikmat dari Tuhan seperti diajarkan dalam Yakobus 1:5.
Baik menikah setelah mapan maupun saat masih berjuang, keduanya dapat menjadi jalan yang benar selama dilandasi iman, kasih, dan komitmen kepada Tuhan.
Jangan ragu untuk berdiskusi dengan pasangan dan pemimpin rohani Anda. Bila Anda memerlukan dukungan rohani, hubungi Layanan Doa dan Konseling CBN yang tersedia selama 24 jam melalui WhatsApp di 0822-1500-2424. Kami siap mendampingi Anda.
Sumber : Berbagai Sumber