Mark McClendon, Direktur Regional CBN Asia Tenggara & Korea Selatan, berbicara dalam Forum Kepemimpinan Injili Asia di Seoul. Ia mengajak para pemimpin Kristen untuk tidak melihat kecerdasan buatan (AI) sebagai ancaman, tetapi sebagai kesempatan dari Tuhan untuk menyelesaikan Amanat Agung.
Dalam pidatonya di Forum Kepemimpinan Injili Asia (Asia Evangelical Leadership Forum/AELF) yang digelar di Seoul, Korea Selatan, Mark McClendon menyerukan kepada lebih dari 100 pemimpin dari lebih dari 20 negara untuk menerima AI sebagai alat penting dalam penginjilan dan pemuridan.
Ia mengutip Yohanes 4:35: “Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai”, sebagai dasar bahwa sekarang adalah waktu yang tepat bagi gereja untuk bergerak.
“Tidak pernah ada waktu yang lebih baik dari sekarang,” kata McClendon.
“Kita semua hidup di zaman ini bukan karena kebetulan, tapi karena penetapan ilahi. Kita dipanggil untuk memimpin di masa pengaruh yang bertumbuh pesat,” lanjutnya lagi.
McClendon juga mengoreksi pernyataannya terdahulu yang menyamakan perubahan teknologi dengan tsunami yang mengancam gereja. Kini ia menekankan, “Kita bukan korban. Kita melayani Tuhan yang menang dan bekerja melalui umat-Nya.”
Alih-alih takut pada kemajuan AI, McClendon mengajak pemimpin Gereja untuk meneladani Nehemia—yang ketika melihat tembok Yerusalem runtuh, tidak putus asa, tetapi menyusun rencana, menggerakkan orang, dan membangun kembali kota itu.
“Nehemia tidak hanya berdoa dan berpuasa—dia mengambil tindakan,” ujarnya.
“Begitu pula kita. Kita tidak harus jadi ahli AI, tapi kita perlu jadi Nehemia di zaman ini,” sambungnya.
Meski McClendon sempat menjelaskan perbedaan AI, AGI (Artificial General Intelligence), dan superintelligence, fokus utamanya adalah pada dampak teknologi ini dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pemerintahan, pendidikan, kesehatan, dan komunikasi.
Ia memperingatkan bahwa gereja tidak bisa mengabaikan era AI. “Ini bukan tren yang bisa Anda hindari,” katanya.
“AI akan tertanam dalam semua sistem dan industri. Kita sedang menyaksikan lompatan teknologi tercepat dalam sejarah manusia.”
McClendon menjelaskan bahwa AI yang mampu meniru empati manusia akan mengubah cara orang berinteraksi. Ini juga akan mempengaruhi cara mereka merespons kebenaran spiritual.
Ia menekankan bahwa Tuhan tidak terkejut dengan perkembangan ini. Bahkan, dalam Wahyu 14:6, Alkitab menggambarkan malaikat yang terbang di udara untuk memberitakan Injil kepada semua bangsa yang ia gambarkan seperti satelit bersayap.
“Bayangkan malaikat itu sebagai satelit bersayap,” kata McClendon. “Saat ini ada lebih dari 5.000 satelit di atas kita. Pada tahun 2035, akan ada lebih dari 20.000 satelit yang menyiarkan internet, data, dan kemungkinan memberitakan Injil ke setiap penjuru dunia.”
Ia menyebut satelit-satelit ini sebagai “malaikat digital” dan menegaskan bahwa gereja tidak boleh hanya kagum pada inovasi, tapi harus memanfaatkannya untuk kemuliaan Tuhan.
“Bagi Tuhan, tidak ada yang mengejutkan. Sejak awal, Tuhan merancang agar gereja menggunakan setiap alat untuk memberitakan Injil.” katanya.
McClendon menyebut dekade 2025–2035 sebagai era pengaruh besar bagi gereja global, salah satunya karena kekuatan AI. Ia juga menekankan pentingnya keberanian dan hikmat dalam menyikapi kemajuan seperti otomasi, robotika, dan biologi sintetis.
Ia menyinggung perbedaan generasi yang mulai terlihat: “Generasi AI sedang bangkit. Anak-anak dan remaja setiap hari berinteraksi dengan AI. Jika gereja tidak terlibat, kita bisa kehilangan perhatian dan kepercayaan generasi ini.”
Namun ia menegaskan, bahwa kebijaksanaan, bukan kepanikan, adalah kuncinya.
“Kita bukan bicara soal menggantikan pendeta atau komunitas rohani. Kita bicara soal memakai alat untuk memperluas akses terhadap Injil, menunjukkan perhatian, dan menjangkau orang dengan cara yang belum pernah kita lakukan sebelumnya,” jelasnya.
McClendon juga membagikan nubuat dari ayahnya, seorang profesor dan visioner media yang disampaikan pada tahun 1972 bahwa “penuaian jiwa terbesar akan terjadi melalui media massa.”
Saat ini, media massa telah diperkuat kembali oleh Ai dan Injil dapat bergerak secepat cahaya.
Ia menutup dengan tantangan bahwa data dan pengetahuan tidak berarti apa-apa tanpa tindakan.
McClendon mengutip pernyataan Dr. Bambang Budijanto, Sekretaris Jenderal AEA, “Tanpa tindakan, data tidak ada artinya. Semua ini hanya berguna jika mengarah pada tindakan nyata bagi Kerajaan Allah.”
Ia mengakhiri dengan doa agar para pemimpin yang hadir diurapi dengan keberanian dan kejelasan untuk membangun, beradaptasi, dan bergerak seperti Nehemia.
“Kami melihat tanda-tanda zaman. Kami menolak tunduk pada ketakutan. Kami adalah umat-Mu, Tuhan. Urapilah kami untuk bangkit di masa ini dan menyelesaikan pekerjaan Injil di generasi kami,” ucapnya saat berdoa.
Forum Kepemimpinan Injili Asia ini masih berlangsung hingga 13 Juni di Gereja Antioch, Seoul dengan tema tahun ini adalah “Disciple or Die 2”, yang bertujuan mempersiapkan pemimpin Kristen Asia untuk menghadapi tantangan spiritual, budaya, dan teknologi yang mendesak di zaman ini.
Sumber : christiandaily