Mendengar kata Bali, yang terbayang biasanya adalah pantai yang indah, pura yang megah, dan budaya Hindu yang begitu kental.
Namun, di balik pesona tanah Dewata, ada jejak kekristenan yang telah hadir sejak lama dan terus bertumbuh hingga saat ini.
Awal Penyebaran Injil di Bali
Bali termasuk salah satu daerah di Indonesia yang cukup sulit dijangkau oleh pekabaran Injil.
Sejak abad ke-15, pulau ini dikenal sebagai benteng pertahanan umat Hindu, dengan adat istiadat yang sangat erat mengakar dalam kehidupan masyarakatnya. Hal ini membuat agama lain, termasuk Kekristenan, sulit berkembang.
Pada tahun 1596, orang Belanda mulai menjalin hubungan dengan Bali, tetapi interaksi mereka lebih banyak berfokus pada perdagangan, termasuk perdagangan budak.
Hingga tahun 1864, belum ada upaya penginjilan yang dilakukan secara khusus di Bali. Baru pada tahun tersebut, lembaga misionaris Utrechtse Zendingsvereniging (UZV) memulai pelayanan mereka di pulau ini untuk menyebarkan kekristenan.
Namun, dalam 17 tahun pertama, hanya satu orang yang berhasil dibaptis. Ini menunjukkan betapa sulitnya penyebaran Injil di Bali pada masa itu.
BACA JUGA: Sejarah Kristen: Jejak Kekristenan di Tanah Maluku
Pelayanan Sang Tohang dan Misi dari Tiongkok
Pada tahun 1929, seorang penginjil dari Tiongkok bernama Tsang Kam Fuk (lebih dikenal sebagai Sang To Hang) datang ke Bali dengan izin pemerintahan kolonial Belanda.
Ia adalah utusan dari Christian and Missionary Alliance (CAMA), dan awalnya melayani komunitas Tionghoa. Namun, Sang Tohang juga mulai menjangkau masyarakat Bali, dan pelayanannya membuahkan hasil.
Pada 11 November 1931, sebanyak 12 orang Bali menerima baptisan. Dalam waktu setahun, jumlah orang Kristen di Bali meningkat hingga lebih dari 100 orang.
Sayangnya, pertumbuhan ini menimbulkan ketegangan di masyarakat setempat. Pada tahun 1933, pemerintah kolonial mencabut izin tinggal Sang To Hang di Bali, sehingga ia terpaksa meninggalkan pelayanan di pulau ini.
Sumber : Jawaban Channel