Saat ribuan orang berdemonstrasi menentang kematian George
Floyd di Minneapolis, Minnesota, petugas kepolisian dan para penegak hukum
lainnya justru melakukan tindakan yang tak terduga di depan para demonstran.
Mereka mulai berlutut bersama di depan para demonstran. Namun aksi itu masih
belum dipastikan apakah sebagai simbol solidaritas atau hanya sekadar startegi untuk memenangkan massa.
Aksi ini terjadi di Boston sampai ke Spokane, Washington. Aksi ini pun unuk sejenak membuat kemarahan demonstran mereda dan sempat menjadi berita utama selama masa-masa kerusuhan di Amerika.
Menurut pandangan keagamaan, sikap berlutut dianggap sebagai
tanda pemujaan yang artinya untuk mengekspresikan pengabdian, kerendahan hati dan permohonan kepada Tuhan.
"Itu adalah simbol penghormatan. Kami mendapatkan tata
bahasanya dari kerangka referensi keagamaan," kata Luke Bretherton, profesor teologi moral dan politik di Duke Divinity School.
Sementara umat Katolik kerap berlutut saat ibadah. Umat
Muslim biasanya membungkuk dan menaruh dahi mereka ke tanah. Orang Yahudi menekuk lutut dan membungkuk saat beribadah.
Secara umum, berlutut adalah satu sikap penghormatan.
Seseorang bisa berlutut untuk melamar kekasihnya. Seorang prajurit berlutut untuk menghormati rekannya yang gugur di medan perang.
Bukan hanya kepolisian, tetapi Walikota, senator AS dan
bahkan seorang uskup Katolik melakukan aksi membungkuk sebagai cara mereka untuk menunjukkan penyesalan dan solidaritas terhadap kemarahan para demonstran.
Baca Juga: Foto Presiden Donald Trump Pegang Alkitab Di Depan Gereja Yang Dibakar Masa Tuai Pro Kontra
Sayangnya, tindakan itu tidak sepenuhnya diterima oleh semua
orang. Seperti yang ditunjukkan oleh penulis olahraga Sally Jenkins, dimana dia
menggambarkan hal tersebut seperti tindakan yang dilakukan Derek Chauvin saat menekan leher George Floyd dengan lututnya.
“Banyak dari kita, ada sesuatu yang sepenuh hati dialami
dalam melihat pengunjuk rasa dan petugas kepolisian berdoa bersama, berpelukan,
berlutut bersama. Itu adalah aksi peting yang menyoroti kemanusiaan kita saat
ini. Namun para pemrotes meminta lebih dari itu. Mereka meminta petugas untuk mempertanggungjawabkan
tindakan rekan-rekan mereka. Jika langkah-langkah itu tidak terjadi di departemen
kepolisian yang sebenarnya, maka pelukan dan berlutut adalah isyarat kosong dan
yang lebih buruk, hanya sebagai tameng,” kata Mark Anthony Neal, seorang profesor di Universitas Duke.
Sementara menurut pendiri Black Lives Matter, Patrisse
Cullors, tindakan kepolisian ini bisa jadi sesuatu yang tidak jujur. Karena hal
itu bisa dijadikan sebagai strategi untuk melemahkan dan meredakan protes yang bisa berubah menjadi kekerasan.
“Hal ini tidak terjadi melalui polisi yang berlutut di depan
para demonstran dan kemudian setelah mereka berlutut, bangun dan melakukan
kekerasan kepada kami dan peluru karet menembaki kami dan memukuli kami dengan tongkat,” kata Cullors.
Karena itu berlutut dianggap hanyalah aksi yang sia-sia jika
pihak kepolisian justru melakukannya tidak dengan kejujuran. Semua orang
berharap bahwa tindakan ini benar-benar murni sebagai bentuk solidaritas dan
penyesalan mendalam yang dialami oleh pihak kepolisian terkait tindakan tidak
terpuji yang dilakukan oleh rekan-rekan mereka.
Kasus kematian George Floyd memang telah menimbulkan
gelombang kemarahan di berbagai kota dan negara. Namun, sebagai warga negara kita
tidak seharusnya melanggar hukum dengan menimbulkan beragam tindakan-tindakan
anarkis. Sudah seharusnya kita mencari keadilan dengan cara yang benar. Bahkan
pihak kepolisian pun diharapkan tidak bertindak melebihi batas hukum.