Sebelum mengikuti panggilannya sebagai pilot missionaris di
Papua, perempuan asal Maryland, Amerika Joyce Lin adalah lulusan Sarjana Sains dan Magister Teknik di Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Awalnya dia berpikir akan bergelut di dunia komputer seumur
hidupnya. Tapi Tuhan punya rencana lain. Setelah menjabat posisi sebagai
Direktur Teknis di perusahaan komersial, dia memutuskan untuk mendaftar di sebuah Seminari Teologi Gordon-Conwell dan lulus dengan gelar Master of Divinity.
Betapa tertariknya dia setelah menemukan kalau ternyata ada
pekerjaan yang mencakup semua minatnya yaitu komputer, penerbangan dan pelayanan.
"Tuhan memanggilku untuk ikut ke sebuah seminari dan itu juga
sesuatu yang mengejutkan dan setahun di seminari aku menemukan semua hal yang
berbeda dari satu hal yang biasanya ada di seminari. Seperti menjadi seorang
pendeta missionaris dan aku tidak tertarik dengan semua itu," kata Joyce dalam sebuah tayangan video.
Lalu dalam satu kesempatan, dia pun kembali berkunjung untuk
ke rumah orangtuanya. Sebelum kembali keesokan harinya, dia berpikir untuk mengemas barang-barangnya lebih dulu.
“Aku menuju ke kamarku dan aku mendengar kata-kata, ‘Kamu
harus mencari di google tentang Pilot Missionaris. Dan aku sangat terkejut
karena itu adalah pengalaman pertamaku mendengar suara seperti itu. Dan suara itu sangat keras dan aku bahkan tidak bisa mengabaikannya,” jelas Joyce.
Dari sanalah akhirnya Joyce menemukan tentang Mission
Aviation Fellowship (MAF). Lalu dia menemukan lowongan pekerjaan sebagai IT di lembaga ini dan percaya kalau itu seperti pintu yang dibukakan Tuhan untuknya.
Dia akhirnya bergabung dengan MAF, menjadi teknisi komputer
dan dipercayaan sebagai pilot resmi setelah menjalani pelatihan dan dinyatakan
lulus. Selain dunia komputer, Joyce memang sudah sangat berminat di dunia
penerbangan sejak lama. Dia bahkan sempat masuk ke sekolah penerbangan dan mendapatkan sertifikat pilot non-komersialnya.
Pada tahun 2010, Joyce pun tiba di Papua. Selama hampir
sepuluh tahun dia mengabdikan diri untuk melayani masyarakat pedalaman melalui keahliannya sebagai teknisi komputer dan pilot missionaris.
Dia mengaku sangat bersyukur selama bekerja bersama MAF
karena baginya menerbangkan pesawat adalah hadiah yang sangat berharga yang
diberikan Tuhan untuknya. Apalagi saat dia bisa berkontribusi untuk mendukung
berbagai pelayanan missionaris bagi masyarakat Papua yang sulit di akses.
Seperti melakukan penerbangan untuk evakuasi medis, memberikan pasokan untuk
pengembangan masyarakat, mendukung pelayanan para guru, missionaris dan pekerja sosial kemanusiaan yang datang ke sana.
“Aku berterima kasih kepada setiap instruktur penerbangan,
setiap teman dan tenaga medis yang berkontribusi dalam berbagai cara untuk
membantuku mengatasi hambatan ini.. Aku berterima kasih kepada Tuhan, yang
memberiku visi tentang seperti apa masa depanku nantinya dan pribadi yang selalu setia menuntunku dalam perjalanan sampai ke Papua,” katanya.
Baca Juga: Saat Kehilangan Kemana Kita Harus Mencari Penghiburan?
Pelayanan panjang yang dilakukan Joyce selama di Papua harus
berakhir setelah pesawat yang dikemudikannya jatuh di Danau Sentani, Jayapura
Papua pada Selasa, 12 Mei 2020 yang lalu. Jasadnya ditemukan tenggelam di kedalaman 42 meter.
Kondisi yang tidak memungkinkan untuk memulangkan Joyce ke
Amerika, memaksa pihak MAF untuk mengebumikan Joyce di tanah Papua pada Jumat, 15 Mei 2020 lalu.
Tuhan telah memakainya dengan maksimal selama perjalanan
hidupnya. Joyce telah menyelesaikan tugas pelayanannya untuk Tuhan dan sesama
dengan baik sampai akhir.
“Karena
itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan
giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan
dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.” (1 Korintus 15: 58)