Pada Minggu, 25 Agustus 2019, jemaat Gereja Pantekosta di
Indonesia (GPdI) Efata Indragiri Hilir, Riau terpaksa harus membubarkan ibadah setelah
ptugas Satuan Kepolisian Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Indragiri Hilir datang dan meminta jemaat untuk keluar dari gedung gereja.
Berita ini menjadi viral di sosial media dan banyak
diperbincangkan warganet. Penyegelan gereja ini tentu bukan kali pertama terjadi.
Pasalnya dalam kurun beberapa bulan belakangan, ada sejumlah gereja di berbagai
daerah yang mendapat penolakan dariw arga setempat dan melakukan tindakan sepihak dengan menyegel gereja.
Adapun fakta-fakta yang harus kita tahu dari peristiwa penyegelan GPdI Efata Riau ini adalah sebagai berikut.
1. Dibubarkan Saat Ibadah
Satuan Kepolisian Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten
Indragiri Hilir mendatangi kediaman Pendeta GPdI Efata Damianus Sinaga di Desa
Petalongan, Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir dan membubarkan paksa jemaat gereja saat ibadah sedang berlangsung.
Tindakan inipun mendapat kecaman dari berbagai lembaga Kristen,
salah satunya PGI. Melalui Sekretaris Umum PGI Gomar Gultom menyampaikan bahwa tindakan Satpol PP sangat melukai hati umat Kristen.
“Arogansi Satpol PP membubarkan ibadah yang sedang berlangsung
sungguh-sungguh melukai hati, bukan saja umat yang sedang beribadah. Tapi juga melukai suasana batin umat Kristiani di berbagai pelosok tanah air,” kata Gomar.
2. Permohonan Pemberian Tenggat Waktu Tak Digubris
Saat hendak dibubarkan, jemaat gereja sempat meminta supaya pemerintah
setempat memberi waktu sampai ibadah selesai. Namun petugas Satpol PP yang datang tak menggubris permintaan tersebut.
Peristiwa pembubaran tersebut bahkan diwarnai oleh aksi histeris
ibu gembala yang sempat memohon dengan tersungkur di kaki personal Satpol PP sampai akhirnya jatuh pingsan.
Kejadian itu tak menghentikan aksi petugas untuk menyegel gereja,
yang adalah rumah pendeta Damianus Sinaga. Mereka lalu memasang sebuah spanduk berwarna
kuning bertuliskan bahwa terjadi pelanggaran peruntukan bagunan dari rumah tinggal menjadi rumah ibadah.
3. Kemenag Sedang Tunggu Klarifikasi dari Gubernur Riau
Penyegelan gereja yang mulai viral di sosial media tersebut akhirnya
sampai ke telinga Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian
Dalam Negeri Akmal Malik. Dia meminta supaya Gubernur Riau menyampaikan klarifikasi
terkait kejadian dan solusi yang akan ditempuh untuk menyelesaikan persoalan ini.
“Kami akan segera klarifikasi melalui Gubernur Riau,” katanya.
Baca Juga : Dinilai Tidak Penuhi Syarat, Aktivitas Ibadah Gereja di Riau Diberhentikan
Sementara menyikapi persoalan penyegelan gereja ini, Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) - LBH Pekanbaru menyatakan sikap dalam beberapa poin diantaranya:
1. Bahwa
pada Tahun 2014 Pdt. Damianus Sinaga mendapat Tugas untuk memimpin dan melayani
umat Kristen di Desa Petalongan berdasarkan Surat No. 012/SKT-MWI Riau/I-13
yang dikeluarkan Majelis Wilayah I GPdI Riau Pdt. Wilson Simbolon pada Tanggal 12 Desember 2014.
2. Bahwa
setelah Pdt. Damianus Sinaga mendapat tugas tersebut, Pdt. Damianus Sinaga
kemudian datang menghadap kepada Kepada Desa Petalongan Kec. Keritang Kab. Indragiri Hilir untuk memberitahukan Surat Tugas Tersebut.
3. Bahwa
selama berjalannya aktivitas ibadah keluarga Pdt. Damianus Sinaga tetap
bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dan selalu mengikuti kegiatan-kegiatan
yang dilakukan Desa Petalongan salah satunya ikut berpartisipasi dalam program siskamling dan kegiatan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
4. Bahwa
sejak tahun 2014 pelaksanaan Peribadatan di GPdI Efata berjalan lancer tanpa ada permasalahan apapun.
5. Bahwa
pada Tanggal 7 Februari 2019 Pdt. Damianus Sinaga mendapat Surat Keputusan
Musyawarah Masyarakat RT 01 dan RT 02 Dusun Sari Agung KM 10 Desa Petalongan
Kecamatan Keritang Kabupaten Indragiri Hilir, dengan ditandatangani Masyarakat
dari RT 01 dan 02 yang pada intinya menolak diadakannya kegiatan kebaktian di
hari Minggu dan rencana pembangunan rumah ibadah di RT 01 Dusun Sari Agung Desa
Petalongan Kecamatan Keritang Kabupaten Indragiri Hilir dengan dalil dasar
hukum Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9
Tahun 2006 BAB IV tentang Pendirian Rumah Ibadah pasal 13 ayat 2 dan Pasal 14 ayat 2 huruf b.
6. Bahwa
pada Tanggal 13 Maret Pdt. Damianus Sinaga kemudian dipanggil oleh pihak Desa
Petalongan sesuai dengan No. 026/PEM-PTL/III/2019 yang ditandatangani oleh
Kepala Desa Tonifudin., S.H. untuk hadir pada hari Jumat Tanggal 15 Maret 2019
di Kantor Desa Petalongan dengan perihal Klarifikasi untuk menindaklanjuti
pengaduan masyarakat RT 01 dan RT 02 Dusun Sari Agung, Desa Petalongan
Kecamatan Keritang Kabupaten Indragiri Hilir yang merasa keberatan dengan kebaktian dihari minggu di wilayah RT 01 Dusun Sari Agung.
7. Bahwa
atas Panggilan tersebut, Pdt. Damianus Sinaga datang menghadiri, namun dalam
pertemuan tersebut tidak ada titik temu sehingga tidak menghasilkan
kesepakatan, dimana pihak desa meminta Pdt. Damianus Sinaga untuk pindah dan
membangun rumah ibadah yang jaraknya kurang lebih 15 KM dari tempat Ibadah yang
dibangunnya dan Pdt, Damianus Sinaga tidak menyanggupi tawaran dari Pihak Desa
karena mengingat jemaat-jemaat gereja yang dipimpinnya juga sudah sangat jauh
dari tempat ibadah namun dari hasil pertemuan tersebut keluar berita acara
klarifikasi yang isinya tentang masyarakat menolak kegiatan kebaktian di hari
minggu dan rencana pembangunan gereja di RT 01 Dusun Sari Agung Desa Petalongan
dan memberi waktu kepada Pdt. Damianus Sinaga untuk persiapan relokasi tempat kebaktian di tempat lain sampai Tanggal 23 Maret 2019.
8. Bahwa
setelah pertemuan dengan pihak desa petalongan, Pdt. Damianus Sinaga kemudian
mendapatkan panggilan lagi dari Pihak Kecamatan Keritang untuk hadir pada hari
Senin Tanggal 01 April 2019 di Tempat Ruang Rapat Camat Keritang sesuai dengan
No. 83/Pem-Krt/III/2019 namun dari hasil pertemuan tersebut Pihak Kecamatan dan
Pdt. Damianus Sinaga juga tidak menemukan solusi atas permasalahan yang terjadi.
9. Bahwa
pada pertemuan tanggal 1 April tersebut Pdt. Damianus membuat Surat Pernyataan
yang isinya adalah tentang ketidaksetujuan Pdt. Damianus Sinaga pada point SATU
tentang “penghentian kegiatan ibadah yang dilakukan dirumah Pdt. Damianus yang
terletak di RT/01 RW/05 Dusun Sari Agung Desa Petalongan Kecamatan Keritang”,
tetapi pada point DUA saya setuju tentang “disarankan untuk berkonsultasi dengan Forum Komunikasi Umat Beragama Kabupaten Indragiri Hilir”.
10. Bahwa
pada tanggal 12 Juli 2019 Kepala Desa Petalongan mengeluarkan Surat
No.047/PEM-PTL/VII/2019 Perihal Mediasi Penyelesaian Gugatan Masyarakat
terhadap Aktivitas Ibadah Jemaat Nasrani yang ditujukan kepada Pdt. Damianus
Sinaga beserta Istri untuk hadir pada Tanggal 15 Juli 2019 di Aula Kantor Camat
Keritang yang pada point suratnya ialah menindaklanjuti Informasi dari
Kecamatan dalam rangka Mediasi Penyelesaian Gugatan Masyarakat terhadap
Aktivitas Ibadah Jemaat Nasrani di KM 10 Dusun Sari Agung Desa Petalongan
Kecematan Keritang Kabupaten Indragiri Hilir namun dari hasil pertemuan tersebut tidak mendapat titik temu atau kesepakatan.
11. Bahwa
pada Tanggal 8 Agustus 2019 Pihak dari Satpol Pamong Praja datang melakukan
penyegelan dan penghentian aktivitas ibadah dirumah kediaman Pdt. Damianus
Sinaga yang berlokasi di RT 01 Dusun Sari Agung Desa Petalongan Kecamatan Keritang Kabupaten Indragiri Hilir dengan dalil dasar sebagai berikut:
a.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006 BAB IV tentang Pendirian Rumah Ibadah;
b. Keputusan
Bersama Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir dengan Forum Kominikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan Forum Kerukunan Umat Beragama tanggal 6 Agustus 2019;
c. Surat
Bupati Indragiri Hilir Nomor 800/BKBP/-KIB/VIII/2019/761.50 Tanggal 7 Agustus 2019.
12. Bahwa
pada tanggal 25 Agustus 2019, Satuan Kepolisian Pamong Praja Kabupaten
Indragiri Hilir datang ke GPdI Efata di Dusun Sari Agung, Desa Petalongan,
Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir dan membubarkan serta menghentikan kegiatan peribadatan yang sedang berlansung.
13. Bahwa
Konstitusi UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Negara menjamin dan
memberikan perlindungan kepada setiap warga negara untuk memeluk agama dan
beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya tanpa bisa dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28 I UUD 1945).
14. Bahwa
dalam konstisusi UUD 1945 Pasal 28 E berdasarkan hak asasi manusia, setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan menyatakan pikiran dan sikap (UUD 1945 Pasal 28 ayat 2).
15. Bahwa
semua hak-hak asasi berlaku bagi semua warga negara tidak terkecuali Jemaat
GPdI Effata dan merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (Non derogable rights) dalam keadaan apapun (Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945).
16. Bahwa
Sesuai dengan Pasal 10 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,
menyebutkan bahwa urusan agama merupakan urusan pemerintahan absolute atau Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
17. Bahwa
sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 tersebut Pemerintah Daerah melampaui
kewenangan yuridisnya yang semestinya tidak dapat mengatur mengenai pelarangan
di bidang agama yang tidak dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah. Pemerintah
Daerah baik Gubernur maupun Walikota atau Bupati tidak berwenang mengurus
urusan agama termasuk melarang kegiatan Jemaat GPdI Effata dalam bentuk apapun didaerahnya masing-masing.
18. Bahwa
secara subtansial Surat Nomor: 800/BKBP-KIB/VIII/2019/76150 tertanggal 7
Agustus 2019 Perihal Penghentian Penggunaan Rumah Tempat Tinggal Sebagai Tempat
Peribadatan, bertentangan dengan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menjamin
kebebasan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Dalam hal ini, konstitusi telah
memberikan perlindungan terhadap eksistensi Jemaat GPdI Effata dan menjamin kebebasan setiap pemeluk Agama Kristen untuk menjalankan ibadatnya.
19. Bahwa
dengan dikeluarkannya Surat Nomor: 800/BKBP-KIB/VIII/2019/76150 tertanggal 7
Agustus 2019 Perihal Penghentian Penggunaan Rumah Tempat Tinggal Sebagai Tempat
Peribadatan juga telah melanggar Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik Pasal 18 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragam.
YLBHI – LBH Pekanbaru pun meminta Bupati Indrihilir untuk mencabut peraturan soal penggunaan rumah tempat tinggal sebagai rumah ibadah, meminta pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan jaminan kepada Jemaat GPdI Efata untuk melakukan peribadatannya. Mereka juga meminta pemerintah pusat menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga negara.
Sumber : Berbagai Sumber | Jawaban.com