Iman adalah dasar dari seorang Kristen percaya kepada Tuhan.
Tapi ada aja orang yang sulit mendefinisikan iman dalam bahasa yang sederhana.
Mari mendefinisikannya dari percakapan Yesus dengan seorang perwira yang minta tolong untuk kesembuhan hambanya.
Kisah ini ditulis di Lukas 7. Di sana dikisahkan seorang perwira
yang memberi tahu Yesus soal kondisi penyakit yang dialami hambanya. Uniknya,
saat Yesus hampir mendekati keadiamannya, sang perwira malah menganggap dirinya
tak layak untuk mendatangi Yesus. Lalu dia meminta supaya Yesus menyampaikan sepatah kata dan mengimani jika perkataan itu akan menyembuhkan hambanya.
“Tuan, janganlah bersusah-susah, sebab aku tidak layak
menerima Tuan di dalam rumahku; sebab itu aku juga menganggap diriku tidak
layak untuk datang kepada-Mu. Tetapi katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh.” (Efesus 7: 6b-7).
Menanggapi ucapan sang perwira, Yesus pun menoleh kearah
kerumunan dan berkata, “Aku berkata
kepadamu, iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai, sekalipun di antara orang Israel!" (Efesus 7: 9b)
Di sini kita bisa lihat bahwa Yesus benar-benar takjub dengan iman yang dimiliki sang perwira itu.
Di bagian Alkitab lain, kita juga bisa menemukan sosok yang digambarkan
penuh dengan iman. Bacalah perikop Ibrani 11. Di ayat pertama dikatakan, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.”
Baik Habel, Henokh, Nuh, Abraham, Ishak dan Yakub punya satu
kesamaan yaitu mereka hanya melekat kuat pada firman Tuhan dan hidup dalam ketaatan. Karena imanlah mereka dikenang sampai sekarang.
Contohnya, Nuh dimana dia diperintahkan untuk membangun bahtera. Saat mendengar hal itu, Nuh patuh dan melakukannya.
Tuhan juga memerintahkan Abraham melakukan hal yang mustahil bagi
manusia. Tanpa mempertanyakan atau bahkan komplain, Abraham mengikuti apa kata Tuhan.
Tuhan sendiri melakukan mujizat kepada istrinya Sara yaitu membuka kandungannya meski saat itu dia sudah mati haid.
“Karena
iman ia juga dan Sara beroleh kekuatan untuk menurunkan anak cucu, walaupun
usianya sudah lewat, karena ia menganggap Dia, yang memberikan janji itu setia.” (Ibrani 11: 11)
Terlepas dari kondisi, argumen, nalar dan perasaan, setiap orang yang disebutkan dalam Ibrani 11 menaruh kepercayaan mereka sepenuhnya kepada Tuhan dan firman-Nya serta melakukannya dengan ketaatan.
Baca Juga: Waktunya Tuhan Gak Bisa Ditebak, Pahami Lewat Percakapan Anjing dan Gajah Ini
Di Markus 4 juga disampaikan tentang Yesus yang baru selesai berkhotbah
dan mengajar sepanjang hari di tepi Danau Galilea. Dia menginstruksikan para
murid untuk pergi menyebrangi dengan perahu. Awalnya, mereka memang patuh
dengan perkataan Yesus, naik ke perahu bersama Dia dan menyeberang. Tapi waktu badai
datang, mereka dihantui rasa takut dan kehilangan iman kalau mereka gak mungkin bisa tiba di tepi pantai dengan selamat.
Melihat reaksi para murid, Yesus pun tampak begitu marah dan menghardik
mereka. Katanya, “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?" (Markus 4: 40)
Definisi iman yang sebenarnya
Dari beberapa cerita Alkitab di atas, kita bisa mendefinisikan
bahwa iman adalah membawa atau mempercayai Tuhan di dalam firman-Nya. Kalau
iman adalah masalah menerima Allah di dalam firman-Nya, lalu apa sebenarnya yang Allah katakan dalam firman-Nya?
“Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu.” (Matius 24: 35)
“…tetapi
firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya." Inilah firman yang disampaikan Injil kepada kamu. (1 Petrus 1: 25)
“Rumput
menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi firman Allah kita tetap untuk selama-lamanya." (Yesaya 40: 8)
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia
ini akan berubah. Tapi firman Tuhan akan kekal selamanya. Kebenarannya gak pernah berubah.
Firman Tuhan bukan seperti perasaan kita yang berubah-ubah. Yang
hari ini bahagia, besok bersedih. Firman Tuhan itu melebihi dari apa yang kita
rasakan, alami, dan hadapi. Kenapa? Karena langit dan bumi akan berlalu, tapi
firman Tuhan akan tetap untuk selamanya. Gak peduli kita sedang mengalami apa hari ini, kita tetap bisa mengandalkan firman-Nya.
Dari segala hal yang kita lihat berubah di dunia ini, hanya kebenaran
Tuhanlah yang gak pernah berubah. Karena itulah kita layak untuk berjalan di dalam iman.
Iman dan Perasaan
Ada saat-saat dimana kita mungkin merasa kosong. Kita merasa kasih
Tuhan gak lagi nyata. Kecenderungannya kita pasti akan mengandalkan perasaan
kita, membiarkan kita untuk mengasihani diri sendiri. Pada akhirnya kita membiarkan
Tuhan tak lagi dibutuhkan dalam hidup kita. Sekalipun begitu, firman Tuhan gak pernah berubah. Dia berkata bahwa Dia akan selalu mengasihi kita.
Karena itulah kita harus berhati-hati untuk membedakan antara
iman dan perasaan. Sekalipun perasaan kita tampak bertentangan dengan janji-janji-Nya, tetaplah memilih untuk mempercayai firmanNya.
Ada kalanya kita diserang oleh rasa kesepian, tekanan dan kesedihan.
Di masa-masa inilah kita paling mudah untuk meragukan kebenaran firman Tuhan. Jangan
biarkan perasaanmu menang atas kebenaran firman Tuhan. Di saat itulah iman kita diuji apakah kita bisa tetap percaya pada firman-Nya atau tidak.
Tentu saja gak ada yang salah dengan perasaan. Karena itu juga
adalah anugerah dari Tuhan, dimana kita tahu kalau kita diciptakan serupa dengan
gambaran-Nya. Dalam artian, Tuhan juga adalah pribadi yang punya perasaan bukan?
Yesus sendiri punya perasaan. Di Taman Getsemani, di malam sebelum Dia disalibkan,
Alkitab memberi tahu kita bahwa Yesus sedang mengalami tekanan yang begitu berat.
Dia tampak dipeunhi dengan perasaan takut dan sedih. Tapi Yesus memilih untuk tidak
dikuasai oleh perasaan. Dia malah menyerahkan apa yang Dia rasakan sepenuhnya kepada Allah.
Dengan perasaan kita harusnya terdorong untuk mau jujur kepada
Tuhan dan menyampaikan apa yang sedang kita alami dengan hati yang hancu, bukan malah menyangkali kebenaran firman-Nya.
Allah sendiri peduli dengan apa yang kita alami. Tapi Dia terlebih
peduli dengan respon yang kita tunjukkan. Respon ini tergantung pada kita.
Jadi, iman bukan hanya soal percaya saja. Tapi benar-benar
bergantung kepada kebenaran dan janji-janji Tuhan dengan taat. Karena kita perlu
memahami bahwa firman-Nya jauh lebih benar daripada perasaan kita.